Di
balik temaram sorotan lampu-lampu malam yang menemani gelapnya jalanan,
terhampar sebuah kenyataan pahit pada kota kecil yang akrab dengan kesunyian. Di
sana, terdapat seorang pemuda bernama Arif yang menjalani hidup dalam pertempuran
batin antara iktikat menjaga norma dan nilai agama dan hasrat duniawi yang
menggiurkan. Dalam sendu diam, Arif menyaksikan riuh terpuruknya moralitas kota
itu terjerembab dalam ketidakmurnian. Ia tergugu pada rasa prihatin menemukan
isu-isu terlarang menghiasi hampir setiap sudut kota ini. Namun, kebisuannya
bukanlah tanda persetujuan. Baginya, agama yang diimani dan diamininya bukanlah
sekadar ritual pemujaan masjid, akan tetapi lebih dari itu jugalah implementasi
nilai-nilai suci dalam berkehidupan.
Di
sudut yang sama, terdapat seorang alim ulama yang bijak dalam memandang ikhwal jauh
ke depan. Beliau, Kiai Hasan, mengilhami bahwasanya tidaklah cukup hanya dengan
memahami agama tanpa menerapkannya dalam panggung kehidupan. Kiai Hasan dalam
kesederhanaannya mengajarkan bahwa seorang muslim tidak selayaknya hanya
berdiam diri menonton ketidakadilan dan moral yang membusuk dan menyerbak di
tengah masyarakat.
Pada
suatu malam yang gelap, Kiai Hasan dan Arif bertemu di serambi masjid. Arif
mendekati Kiai Hasan dengan keraguan di mata dan hatinya, lalu membagikan
kegelisahannya tentang kemerosotan moralitas yang mengakar di kota itu.
“Apakah
tidak boleh bersikap tegas terhadap kebatilan yang terjadi di sekitar kita?”
tanya Arif dengan ditumpahi rasa kecewa.
Kiai
Hasan tersenyum lembut, “Arif, terkadang kita terlalu naif untuk menyikapi
kenyataan ini. Kenyataannya, tidak cukup dengan ribuan fatwa yang digaungkan apabila
tidak disertai dengan aksi nyata. Banyak yang memahami agama, namun sedikit
sekali enggan berjuang mengamalkannya dalam kehidupan nyata.”
Arif
terdiam seribu bahasa, menggodoknya dengan matang kalimat bijak sang kiai. Tetapi,
ia masih bingung.
“Bagaimana
kita dapat berbuat lebih banyak, Kiai?” tanya Arif dengan raut wajah penuh harap.
Kiai
Hasan menatap dengan serius, “Selalu ada campur tangan Allah pada setiap garis
tangan yang tertulis pada setiap manusia. Kamu harus memahami satu hal bahwasanya
satu tanda tangan untuk menutup tempat haram lebih berarti daripada ribuan
fatwa haram. Itulah politik yang sejati, Arif. Politik bukan hanya tentang
kekuasaan, tetapi politik juga tentang kebaikan umat, politik moralitas, serta politik
untuk agama.”
Mata
Arif berkaca-kaca mendengar kalimat bijak tersebut. Ia tersadar bahwasanya
politik bukan hanya tentang sekadar merengkuh posisi atau kekuasaan semata, melainkan
sebuah panggilan untuk memperjuangkan nilai-nilai suci. Sejak malam itu, Kiai
Hasan dan Arif duduk bersama merancang langkah nyata guna memperbaiki moralitas
kota. Mereka hadir melibatkan diri dalam dialog dengan khalayak, mengajak
masyarakat untuk lebih aktif peduli terhadap moralitas serta berjuang bersama guna
menutup tempat haram bernama lokalisasi yang menjadi sarang keburukan.
Malam
menyapa dengan kelembutan, menerangi hamparan jalanan kota kecil dengan kilau cahaya
remang-remang. Di sebuah ruang pertemuan yang sederhana, Arif dan Kiai Hasan
dikerubungi oleh para pemuda dan tokoh masyarakat yang tergugah oleh semangat
perubahan.
“Apa
yang kita lakukan hari ini adalah wujud dalam menjunjung tinggi kebaikan kita
semua,” ungkap Kiai Hasan dengan penuh keyakinan. “Ini bukan hanya tentang
menutup lokalisasi, tetapi juga mengenai membangun kesadaran nilai-nilai luhur
dalam agama yang kita junjung tinggi. Kita berharap dapat menciptakan kota yang
akrab dengan kebaikan serta dirahmati Allah.”
Mendengar
hal tersebut, semangat pun kian membara di hati para hadirin. Mereka
membayangkan kota kecil tersebut kembali cerah, dipenuhi dengan rasa nyaman dan
aman serta dinaungi dengan kebaikan. Mereka bukan hanya sekadar menjadi penonton
semata, melainkan juga menjadi bagian dari gerakan perubahan tersebut. Dengan
tekad bulat, Arif yang diamanahi oleh Kiai Hasan melangkah penuh yakin ke
hadapan, memulai kampanye untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya
berpolitik dalam arti sejati. Mereka berkumpul, bersinergi menyusun strategi,
dan menggalang dukungan dari berbagai eleman masyarakat.
Tak
lama kemudian, suara mereka pun mulai terdengar. Diskusi-diskusi publik digalakkan,
seminar-seminar guna meningkatkan kesadaran moral digelar, dan petisi untuk
menutup lokalisasi tersebut digaungkan dan tersebar luas. Bukan hanya pemuda, melainkan
juga para ibu, bapak, dan tokoh-tokoh agama pun juga turut hadir dalam gerakan
ini.
Langkah
perjuangan mereka tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi setiap
langkah kecil yang mereka lakukan membawa harapan baru untuk kota kecil tersebut.
Ribuan fatwa haram masih terdengar dengan samar, tetapi satu tanda tangan
penutupan tempat haram tersebut menggema lantang sebagai simbol kepedulian dan
perubahan.
Pada
akhirnya, ketabahan dan kesungguhan mereka membuahkan hasil. Setelah perjuangan
yang panjang, pemerintah setempat akhirnya mengambil langkah tegas untuk
menutup lokalisasi yang telah menjadi sumber keburukan bagi kota kecil mereka. Arif
hadir sebagai pemimpin dan pimpinan kota tepilih berbekalkan keikhlasan dalam
mengabdi kepada masyarakat serta mengembalikan marwah kebaikan dalam
bermasyarakat. “Percayalah, pada setiap kebaikan selalu ada uluran rahmat Allah
untuk mengiringinya. Mungkin ini telah menjadi garis tanganmu, Arif. Garis
tangan yang mengantarkanmu pada sebuah niat baik yang tertunaikan bermodalkan
tanda tangan kebaikan yang selalu kau perjuangkan. Inilah campur tangan Allah dalam
mendukung niat baikmu. Kini, kau telah paham makna dari garis tangan, campur
tangan, dan tanda tangan yang sebenarnya,” pesan Kiai Hasan kepada Arif.
Kota
kecil tersebut perlahan mulai berseri kembali menyiratkan kebaikan dan
kedamaian. Arif yang didukung oleh Kiai Hasan bersama dengan para pemuda dan
masyarakat yang berjuang bersama mereka, mengukir jejak kebaikan yang tak
terlupakan dalam sejarah kehidupan kota kecil yang mereka cintai tersebut. Mereka
membuktikan bahwasanya seorang muslim tak selayaknya berdiam diri dalam menyikapi
kebatilan karena berpolitik bukan hanya tentang urusan kekuasaan, tetapi lebih
dari itu juga panggilan moral yang harus diemban demi kebaikan bersama.