Janji Sang Ayah

Janji Sang Ayah

 

Di bawah teduh langit kemuning senja, sesosok lelaki beruban berdiri di depan pintu rumah yang sederhana. Di balik pintu itu, seorang anak kecil dengan raut wajah berbalut penuh harap menanti. “Ayah, jangan lupa nanti kita jalan-jalan ya?” tanya sang anak dengan senyum penuh harapan. Sang ayah membalas seraya mengangguk, menyembunyikan kelelahan yang menggerogoti di raut wajahnya. “Tentu, sayang. Ayah akan pulang lebih awal nanti dan kita akan pergi ke pasar malam,” jawabnya dengan nada lembut sembari merahasiakan kenyataan pahit yang selalu berulang setiap harinya.

Kala tirai malam mulai merangkak naik ke atas langit, kota itu benderang dengan kilau lampu-lampu jalan yang berjejeran. Sang ayah masih berada di tempat kerjanya, bertarung melawan melawan kantuk dan lelah demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Setiap helai keringat yang menetes laksana saksi bisu perjuangannya. Waktu terus melangkah dan ketika malam semakin larut, sang ayah akhirnya pulang dengan langkah tertatih dan menghela nafas dengan berat. Di rumah, bidadari kecilnya sudah pulas bergulingkan buku dongeng yang terpeluk di tangan mungilnya, menanti pahlawan hidupnya yang berjanji akan mengajaknya jalan-jalan.

Pagi mulai menggusur langit malam dan sinar mentari mulai menyerobot masuk lewat celah-celah jendela. Sang ayah duduk di samping putri kecilnya yang masih terlelap dalam tidurnya, mengusap rambut halusnya sembari mendaratkan ciuman penuh kasih. “Maafkan ayah, sayang. Ayah berjanji, suatu hari nanti kita akan jalan-jalan seperti yang kita harakan bersama,” bisiknya penuh haru seraya menahan air mata itu jatuh. Ia paham bahwa setiap kebohongan yang selalu dilakukannya itu adalah janji yang ingin ditepatinya. Dengan senyum yang mulai memudar, sang ayah membulatkan tekad dalam hatinya bahwa kerja kerasnya adalah harapan yang tak akan berakhir sia-sia. Harapan masa depan terbaik untuk bidadari kecilnya tersebut adalah tekad yang selama ini ia perjuangkan. Sang ayah sadar bahwa selain memenuhi harapan terbaik untuk masa depan bidadari kecilnya, ia juga harus dapat memenuhi janji yang diharapkan sang putri kecilnya, yakni, jalan-jalan bersama.

Tasawuf Wanita

Tasawuf Wanita

 


Di samudra pikiran, sebuah kisah terabadikan

Tentang seorang lelaki berbekalkan segudang pengetahuan

Sains, sosial, humaniora, hingga agama, semuanya telah ditaklukkan

Tapi, satu misteri tetap menghantuinya

 

Dalam pelukan senja, dia merajut lamunan dengan gundah

Mengurai fakta, data, dan kenyataan

Namun, dalam belantara hati seorang wanita

Tak ayal terombang-ambing dalam kebimbangan

Dia seakan memahami semua hal tentang semesta

Namun, dalam benaknya, kebingungan selalu akrab menemaninya

Mengapa ia berduka, marah, atau bahagia?

Semuanya laksana sebuah teka-teki tanpa kunci jawaban

 

Mungkin, inilah yang namanya pesona yang tak terucap

Rahasia yang tersemat dalam raut wajah

Atau mungkin itu adalah irama kehidupannya

Yang hanya bisa dipahami lewat tasawuf wanita

 

Dia belajar bahwa wanita adalah puisi yang hidup

Dengan rasa yang dalam, tak terjemahkan dalam kata

Dan meski misteri itu tetap, dia belajar untuk merangkul

Memahami dalam ketidakmengertian lewat cinta yang abadi

Jadi, biarkanlah dia bermain dengan dunia dan alam semesta

Permainan bertajuk keajaiban seorang wanita

Yang mengajarinya bahwa di balik semua pengetahuan itu

Ada keindahan dalam ketidaktahuan yang merayakan cinta

Gunting & Sisir

Gunting & Sisir

Dalam deras hujan yang menggusur ketenangan, Paridi berdiri gelisah di ambang pintu rumahnya yang diseruduk banjir. Tangannya yang gemetar karena kedinginan, menggenggam erat gunting dan sisir, benda sederhana yang menjadi senjatanya untuk bertahan hidup. Paridi merenung pada jejak-jejak waktu yang terhempas sapuan banjir yang merenggut segala kenangan. Triplek-triplek yang menjadi tembok rumahnya sudah melapuk menyongsong petaka diobrak-abrik banjir, tapi di pandangannya masih berseri indah tiada tara.

Dengan langkah beriring gemetar, Paridi merayap dalam genangan banjir, membopong gunting dan sisir yang tersandera arus deras. Meskipun kehilangan segala harta benda, Paridi menolak untuk kehilangan dua benda sederhana yang menjadi saksi bisu dari kisah hidupnya. Di tengah seretan banjir yang mendera, Paridi laksana penari ulung yang meliuk-liukkan badan melawan gerusan banjir, membopong dengan kukuh gunting dan sisirnya sebagai simbol pengikat terhadap kisah masa lalu yang seakan ingin diceraikan oleh banjir.

Malam yang kelam tak menyurutkan harapannya. Paridi berjuang bukan hanya untuk menyelamatkan gunting dan sisirnya, tapi juga untuk menyelamatkan dirinya dari keputusasaan. Di bawah sorotan lampu jalan berhiaskan gerimis menjadi saksi tak terbantahkan atas perjuangannya. Dia meyakini bahwasanya harapan adalah satu-satunya harta yang masih dimilikinya, meskipun segalanya telah hilang. Kebahagiaan Paridi bukanlah tentang kepemilikan kembali terhadap harta bendanya yang dirampas badai kehidupan, melainkan keyakinan untuk tetap berani berdiri teguh melanjutkan hidup berbekal keahlian memainkan gunting dan sisirnya.

Fitnah Cinta

Fitnah Cinta

Desa kecil bepermadanikan hamparan tanah subur dengan balutan cahaya bulan tersebut seakan menjadi saksi alam hidupnya seorang perempuan bernamakan Arum. Bermahkotakan rambut hitam panjang dengan hiasan senyum manis yang melekat di bibirnya, Arum seakan menjadi matahari kecil bagi warga desa tersebut. Namun, di balik pesona kecantikannya, tersembunyi kisah kegelisahan yang menggerogoti hatinya.

Arum kini telah mencapai usia matang, tetapi tak seorang pun dari para pemuda desa yang mengalamatkan lamaran kepadanya. Hatinya yang semula dibanjiri dengan gelak tawa dan ceria, kini dilanda hembusan gusar yang menyelimuti setiap waktunya. Ia yang tadinya tidak pernah mengakrabkan diri dalam dunia keagamaan, kini merasa terpaksa harus berbaur pada serambi masjid yang ramai oleh doa dan pengajian sebagai solusi atas kegusarannya.

Dengan hati yang bimbang, Arum mencoba langkah pasti dengan menyusuri jalan baru. Ia mengenakan busana muslim lengkap dengan atributnya, kemudian memasuki masjid dengan harapan menemukan jawaban atas kegusarannya. Bukan hanya itu, Arum juga berusaha untuk memahami makna setiap lantunan ayat yang menggema kala shalat dan pengajian. Namun, di balik niat kamuflase untuk mengakrabkan diri kepada Tuhan, Arum menyusun agenda terselubung. Ia berniat menjaring lelaki yang shaleh, bukan karena ia ingin memantabkan pemahaman agamanya, melainkan agar ada yang terpikat dengan dirinya. Arum mulai menyemai pesona pada setiap jamaah lelaki yang hadir di masjid.

Kala sujud di sebuah sudut masjid, Arum dengan sengaja menempatkan dirinya pada  tempat yang mudah ditatap oleh banyak jamah. Ia berniat menyihir setiap hati lelaki yang hadir dengan senyuman termanis dan tatapan mata yang penuh pikat. Seiring melangkahnya waktu, namanya mulai tersohor di kalangan jamaah. Tak ayal salah satu jamaah yang terpikat adalah Farhan, pemuda yang sebenarnya memainkan peran yang sama dengan halnya Arum. Saleh nan tekun beribadah adalah identitas yang coba ia bangun di benak setiap orang. Ia terpesona oleh kecantikan Arum dan ia pun  memutuskan untuk mendekatinya.

“Assalamualaikum, Arum. Maaf mengganggu, tapi aku ingin berbicara,” sapa Farhan dengan penuh kelembutan. Arum pun melayangkan jawaban mengangguk seraya tersenyum ramah seolah menyambut hadirnya Farhan dengan malu-malu.

“Waalaikum salam, Farhan. Ada yang bisa aku bantu?” balas Arum dengan pura-pura tidak tahu. Padahal, ia tahu persis jurus-jurus yang selalu menjadi senjata andalan lelaki dalam mendekatinya.

“Aku perhatikan, kamu selalu antusias dalam shalat dan pengajian. Semoga kamu selalu istiqamah ya” ujar Farhan melancarkan perhatian sebagai prolog dalam menarik perhatian Arum.

Arum pun membalasnya dengan tebaran senyuman manisnya yang seolah itu merupakan awal dari sebuah perjalanan yang diharapkan.

“Insha Allah, terima kasih ya, Farhan,” ungkap Arum dengan lembut.

***

Pada sebuah moment setelah shalat berjamaah, Farhan memantapkan hatinya untuk mengungkapkan harapannya untuk dapat berbalas kasih antara keduanya.

“Arum, aku merasa dekat denganmu. Apakah kita bisa melanjutkan hubungan ini lebih serius lagi, dengan niat menikah?”

Arum yang sebenarnya belum mantap untuk melangkahkan kakinya ke kehidupan tersebut mencoba menyembunyikan keraguannya. Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk menjalin kasih dengan dalih taaruf. Setiap pertemuan mereka selalu diwarnai dengan obrolan tentang agama, meskipun kenyataannya hal itu tidak pernah menjadi tujuan sejati Arum dan Farhan. Mereka  terlihat harmonis dan tak jarang berboncengan untuk menuju masjid, tetapi di balik kesalehan yang mereka suguhkan, kebohongan besar yang terukir nyata dalam hati keduanya, mereka sembunyikan dengan sangat rahasia.

Waktu terus bergulir melangkahkan kakinya, Arum dan Farhan pun kian mantap untuk melanjutkan ke jenjang kepastian.

“Akhirnya, kita resmi menjadi suami-istri. Aku beruntung sekali memiliki istri secantik dan sesalehah kamu, Arum,” ungkap Farhan dengan penuh bangga dan bahagia.

“Aku juga beruntung sekali memiliki suami yang saleh seperti kamu,” jawab Arum penuh bangga dan bahagia pula.

Ya, bangga dan bahagia seakan hanya mampir sesaat menjadi kesan perjalanan hidup mereka. Bukan tanpa alasan, melainkan seiring dengan perjalanan pernikahan tersebut, keduanya mulai membuka diri tentang sandiwara yang telah mereka mainkan. Bahtera rumah tangga yang indah itu tak lama berselang berubah menjadi medan perang. Keduanya mulai membuka topeng dan menampilkan karakter aslinya. Masjid yang dulunya menjadi saksi bisu memendam niat terselubung mereka, kini ditinggalkan penuh rasa apatis. Shalat dan mengaji tidak lagi menjadi kisah dari rutinitas harian yang dulunya mereka paksakan. Arum dan Farhan terjebak dalam pertempuran pribadi di dalam kapal yang mereka nahkodai bersama. Keduanya merasa bak tertipu, bukan hanya oleh pasangannya, tetapi juga oleh kehidupan yang mereka jalani  berbalutkan sandiwara palsu.

“Aku kira kau seseorang yang saleh, tetapi ternyata kau hanyalah pembohong yang memperalat agama. Kau telah membohongiku. Dasar pembohong! sentak Arum kepada suaminya dengan wajah memerah.

“Jaga mulutmu! Kau juga pembohong. Agama kau permainkan hanya untuk menarik perhatian lelaki. Aku menyesal telah tergoda olehmu. Ternyata kau sama saja dengan wanita lainnya. Dasar wanita penggoda! balas Farhan sembari menunjukkan jarinya ke hadapan istrinya tersebut.

Ketika tabir rahasia mereka terbuka secara jelas di masyarakat, desa kecil tersebut gempar. Pasangan yang dulunya dianggap sebagai corong teladan kehidupan beragama ternyata menyelipkan kedustaan di balik tirai kesalehan. Arum dan Farhan merasakan penyesalan fitnah cinta atas tabiat mereka yang sesat. Mereka menyadari bahwa mencari pasangan yang saleh dan salehah tak dapat diniatkan dengan sikap pura-pura melainkan bagian dari cerminan diri.

Sambat Rakyat

Sambat Rakyat

 

Di negeri berdaulat ini, politikus bersiasat

Hasrat meluap layaknya gelombang lautan yang dahsyat

 

Dengan kiat senyum termanis, janji-janji manis dimaklumat

Namun di balik jerat itu, kepentingan rakyat dilibat

Mereka menari dengan semangat di atas panggung penuh akrobat

Menipu dan memanipulasi rakyat berdalihkan amanat

Janji-janji palsu nan khianat terucap penuh syahwat

Sedangkan, harkat keadilan tergusur oleh siasat

 

Rakyat menjadi korban dalam sandiwara politik maksiat

Amanat kesejahteraan terpinggirkan oleh ketamakan para pejabat

Dalam nikmat kekuasaan, etika mati menjadi mayat

Seolah-olah daulat negara ini hanya panggung bagi para pengerat

Para pendukung penjilat melibas kritik dengan hasrat

Seolah-olah tak melihat KKN yang menggeliat

Pemimpin yang tergiur lezat kekuasaan dan melupakan rakyatnya dengan siasat

Seakan-akan pangkat adalah haknya dan tak peduli dengan derita rakyat

 

Namun, satire wasiat ini adalah cermin bagi kita pemilik negara yang berdaulat

Agar tak teperdaya jerat oleh pesona politikus yang sesat

Kita adalah rakyat yang hanya mampu bersambat

Berharap mereka bertobat dan kembalinya negara yang bermartabat

Di bawah mandat pemimpin yang taat dan amanat

Agar kepentingan rakyat tetap menjadi fokus maslahat

Membumi Tanpa Melangit

Membumi Tanpa Melangit

 

Di bagian bumi yang akrab dengan keguyuban warganya, hadir seorang anak bernama Nando yang dengan sifat langitnya merasa bahwa dirinya lebih pintar dan hebat daripada semua warga, tak terkecuali Pak Hartono, seorang lelaki beruban dan berbadan kurus yang dikenal bijak oleh warga. Pada sebuah pertemuan di balai desa, Nando dengan bangga mencoba menunjukkan betapa pintar dan hebat dirinya dengan membantah gagasan-gagasan Pak Hartono secara terbuka. Nando merasa jemawa karena tidak sedikit teman seusianya yang hadir pun turut tertawa meramaikan ejekan tersebut.

Di lain waktu yang berbeda, Nando tampak merenung kala ia secara tidak sengaja mendengar diskusi antara Pak Hartono dan ayahnya. Ternyata, Pak Hartono bukan hanya bijak tetapi juga loyal dan berdedikasi dalam membantu warga. Nando merasa malu karena sikapnya yang melangit justru malah membuatnya terkubur dalam penyesalan. Keesokan harinya, Nando menemui Pak Hartono untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Pak Hartono dengan rendah hatinya pun menyambut permintaan maaf itu seraya mendaratkan pelukan disertai iringan nasihat bijak kepada Nando tentang pentingnya menghargai sesama.

Kini, Nando belajar arti dari menghargai pengetahuan dan pengalaman orang yang lebih tua. Ia menjadi pribadi yang membumi dan seakan terlupa untuk melangit. Ia tidak lagi melangit hanya untuk mengejar pengakuan orang lain, tetapi ia membumi untuk membuka diri belajar dari orang-orang di sekitar dan menjadi seseorang yang bijak serta sadar akan perannya sebagai mahkluk yang memang hidup di bumi dan selayaknya memiliki sifat membumi.

Si Pemalas; Pemimpin Generasi

Si Pemalas; Pemimpin Generasi

 

Di bagian sudut kelas di SMA Mentari, terdapat seorang remaja bernama Alfath. Ia selalu menyembunyikan wajahnya di balik bukunya, lebih akrab bergaul dengan game daripada sorot mata teman-temannya. Sikapnya yang pendiam memastikan dirinya dijauhi oleh teman-temannya serta terpenjara dalam dunianya sendiri. Namun, sebenarnya Alfath adalah figur yang berbekalkan keunikan yang tersembunyi di balik sikap apatis yang selama ini disematkan kepadanya.

Di tengah hiruk-pikuk rutinitas sekolahnya yang monoton, tenyata Alfath mengadu kisah kasih dengan dunia digital. Berbekal bakat dan minatnya, dia memilih untuk menjadi konten kreator di platform YouTube. Dalam setiap langkah permainan yang dimainkannya, Alfath merajut cerita, merangkai kata-kata, dan memadukan alunan musik yang menggiring siapa pun yang menyaksikannya terhanyut ke dalam petualangan dan pengalaman yang penuh inspirasi.

Namun, perjalanan Alfath tidaklah selalu berbuah manis. Berbagai rasa pahit dalam kenyataan pernah dicicipinya. Kegagalan demi kegagalan tak ayal masih menjadi sahabat yang akrab menemaninya setiap kali ia mencoba sesuatu bermimpikan keberhasilan. Setiap buih kegagalan adalah bahan bakar pelecut semangatnya untuk mencipta yang lebih baik lagi. Kenyataannya, impian keberhasilan pun akhirnya tiba menyapanya. Kegigihannya pun terbayar lunas, Alfath akhirnya mengerti betul rasa manis buah kesabarannya setelah sekian waktu menelan berbagai pil pahit sebelumnya.

Sekarang, dengan jutaan pengikut, Alfath bukan hanya mengubah jalan takdirnya, tapi juga keluarganya. Buah keringat dari kontennya bukan lagi hanya sekadar kegembiraan pribadi, melainkan mata pencaharian yang dapat menyambung hidup keluarga dan menggandeng tangan tetangganya yang terjerembab dalam kesulitan.

Pada bagian kenyataan terdalam, Alfath bukan sekadar seorang pemain game. Ia adalah sosok yang tahu caranya memaknai hidup. Setiap kesalahan yang pernah ia tapaki di dunia game adalah pelajaran beharga dalam mengukir kisah hidup yang lebih baik.

Teman-temannya yang dulu mengucilkannya, kini terpukau oleh kenyataan. Rafi, teman sepermainanya yang juga teman sesekolahnya, yang akrab merasakan sentuhan kebaikan Alfath, menyuarakan cerita ini kepada semua orang. Bermodal rasa bangga, ia mengungkapkan bahwa Alfath bukanlah pribadi pemalas. Mungkin, ia terlihat memainkan perannya bermain-main dengan pelajarannya, tetapi ia adalah seorang yang justru tak pernah bermain-main dengan cita-citanya.

Para guru yang awalnya terbiasa sinis melihat potensi Alfath yang biasa-biasa saja, kini mengapresiasi kesuksesannya yang luar biasa. Alfath, si pemalas dan pemain game itu, kini menjadi pemimpin generasinya. Alfath bukan lagi sosok yang tersesat di tengah keramaian sekolah, melainkan pahlawan yang menunjukkan jalan sukses ke tujuan mimpi yang sebenarnya kepada teman-temannya. Dalam dunia yang pernah terabaikan, Alfath memungut kebahagiaannya dengan keyakinan bahwa kesejatian hidup adalah menjadi inspirasi bagi banyak orang di sekitarnya.