Desa
kecil bepermadanikan hamparan tanah subur dengan balutan cahaya bulan tersebut
seakan menjadi saksi alam hidupnya seorang perempuan bernamakan Arum. Bermahkotakan
rambut hitam panjang dengan hiasan senyum manis yang melekat di bibirnya, Arum
seakan menjadi matahari kecil bagi warga desa tersebut. Namun, di balik pesona kecantikannya,
tersembunyi kisah kegelisahan yang menggerogoti hatinya.
Arum
kini telah mencapai usia matang, tetapi tak seorang pun dari para pemuda desa
yang mengalamatkan lamaran kepadanya. Hatinya yang semula dibanjiri dengan gelak
tawa dan ceria, kini dilanda hembusan gusar yang menyelimuti setiap waktunya.
Ia yang tadinya tidak pernah mengakrabkan diri dalam dunia keagamaan, kini
merasa terpaksa harus berbaur pada serambi masjid yang ramai oleh doa dan
pengajian sebagai solusi atas kegusarannya.
Dengan
hati yang bimbang, Arum mencoba langkah pasti dengan menyusuri jalan baru. Ia
mengenakan busana muslim lengkap dengan atributnya, kemudian memasuki masjid
dengan harapan menemukan jawaban atas kegusarannya. Bukan hanya itu, Arum juga
berusaha untuk memahami makna setiap lantunan ayat yang menggema kala shalat
dan pengajian. Namun, di balik niat kamuflase untuk mengakrabkan diri kepada
Tuhan, Arum menyusun agenda terselubung. Ia berniat menjaring lelaki yang
shaleh, bukan karena ia ingin memantabkan pemahaman agamanya, melainkan agar
ada yang terpikat dengan dirinya. Arum mulai menyemai pesona pada setiap jamaah
lelaki yang hadir di masjid.
Kala
sujud di sebuah sudut masjid, Arum dengan sengaja menempatkan dirinya pada tempat yang mudah ditatap oleh banyak jamah.
Ia berniat menyihir setiap hati lelaki yang hadir dengan senyuman termanis dan
tatapan mata yang penuh pikat. Seiring melangkahnya waktu, namanya mulai tersohor
di kalangan jamaah. Tak ayal salah satu jamaah yang terpikat adalah Farhan,
pemuda yang sebenarnya memainkan peran yang sama dengan halnya Arum. Saleh nan
tekun beribadah adalah identitas yang coba ia bangun di benak setiap orang. Ia terpesona
oleh kecantikan Arum dan ia pun memutuskan untuk mendekatinya.
“Assalamualaikum,
Arum. Maaf mengganggu, tapi aku ingin berbicara,” sapa Farhan dengan penuh
kelembutan. Arum pun melayangkan jawaban mengangguk seraya tersenyum ramah
seolah menyambut hadirnya Farhan dengan malu-malu.
“Waalaikum
salam, Farhan. Ada yang bisa aku bantu?” balas Arum dengan pura-pura tidak
tahu. Padahal, ia tahu persis jurus-jurus yang selalu menjadi senjata andalan
lelaki dalam mendekatinya.
“Aku
perhatikan, kamu selalu antusias dalam shalat dan pengajian. Semoga kamu selalu
istiqamah ya” ujar Farhan melancarkan perhatian sebagai prolog dalam menarik
perhatian Arum.
Arum
pun membalasnya dengan tebaran senyuman manisnya yang seolah itu merupakan awal
dari sebuah perjalanan yang diharapkan.
“Insha
Allah, terima kasih ya, Farhan,” ungkap Arum dengan lembut.
***
Pada
sebuah moment setelah shalat berjamaah, Farhan memantapkan hatinya untuk
mengungkapkan harapannya untuk dapat berbalas kasih antara keduanya.
“Arum,
aku merasa dekat denganmu. Apakah kita bisa melanjutkan hubungan ini lebih serius
lagi, dengan niat menikah?”
Arum
yang sebenarnya belum mantap untuk melangkahkan kakinya ke kehidupan tersebut
mencoba menyembunyikan keraguannya. Akhirnya, mereka pun memutuskan untuk menjalin
kasih dengan dalih taaruf. Setiap pertemuan mereka selalu diwarnai dengan obrolan
tentang agama, meskipun kenyataannya hal itu tidak pernah menjadi tujuan sejati
Arum dan Farhan. Mereka terlihat
harmonis dan tak jarang berboncengan untuk menuju masjid, tetapi di balik
kesalehan yang mereka suguhkan, kebohongan besar yang terukir nyata dalam hati
keduanya, mereka sembunyikan dengan sangat rahasia.
Waktu
terus bergulir melangkahkan kakinya, Arum dan Farhan pun kian mantap untuk
melanjutkan ke jenjang kepastian.
“Akhirnya,
kita resmi menjadi suami-istri. Aku beruntung sekali memiliki istri secantik
dan sesalehah kamu, Arum,” ungkap Farhan dengan penuh bangga dan bahagia.
“Aku
juga beruntung sekali memiliki suami yang saleh seperti kamu,” jawab Arum penuh
bangga dan bahagia pula.
Ya,
bangga dan bahagia seakan hanya mampir sesaat menjadi kesan perjalanan hidup
mereka. Bukan tanpa alasan, melainkan seiring dengan perjalanan pernikahan
tersebut, keduanya mulai membuka diri tentang sandiwara yang telah mereka mainkan.
Bahtera rumah tangga yang indah itu tak lama berselang berubah menjadi medan
perang. Keduanya mulai membuka topeng dan menampilkan karakter aslinya. Masjid
yang dulunya menjadi saksi bisu memendam niat terselubung mereka, kini
ditinggalkan penuh rasa apatis. Shalat dan mengaji tidak lagi menjadi kisah
dari rutinitas harian yang dulunya mereka paksakan. Arum dan Farhan terjebak
dalam pertempuran pribadi di dalam kapal yang mereka nahkodai bersama. Keduanya
merasa bak tertipu, bukan hanya oleh pasangannya, tetapi juga oleh kehidupan
yang mereka jalani berbalutkan sandiwara
palsu.
“Aku
kira kau seseorang yang saleh, tetapi ternyata kau hanyalah pembohong yang
memperalat agama. Kau telah membohongiku. Dasar pembohong! sentak Arum kepada
suaminya dengan wajah memerah.
“Jaga
mulutmu! Kau juga pembohong. Agama kau permainkan hanya untuk menarik perhatian
lelaki. Aku menyesal telah tergoda olehmu. Ternyata kau sama saja dengan wanita
lainnya. Dasar wanita penggoda! balas Farhan sembari menunjukkan jarinya ke
hadapan istrinya tersebut.
Ketika
tabir rahasia mereka terbuka secara jelas di masyarakat, desa kecil tersebut gempar.
Pasangan yang dulunya dianggap sebagai corong teladan kehidupan beragama
ternyata menyelipkan kedustaan di balik tirai kesalehan. Arum dan Farhan
merasakan penyesalan fitnah cinta atas tabiat mereka yang sesat. Mereka
menyadari bahwa mencari pasangan yang saleh dan salehah tak dapat diniatkan
dengan sikap pura-pura melainkan bagian dari cerminan diri.


