Monolog Hujan

 


Rintik menyapa dengan istiqamah menyejukkan buana

Bertamu menjawab harapan dalam panas penantian

Mengusir tandus dengan desau merdu gerimis

Dalam episode kemarau yang tak berujung

 

Kedatanganmu bak masa berbuka di kala puasa

Mengeliminasi elegi yang telah lama mengudeta

Bukankah kesabaran adalah kuncinya?

Masih ingatkah kau dengan kejamnya kemarau:

Yang memimpin musim dengan tirani dahaga,

Yang menelantarkan kedamaian serdadu hijau dengan serbuan kerontang 

Yang menggusur ketentraman ragawi dengan guyuran peluh,

Dan semua tentang sambatan yang kau serukan pada Sang Kuasa

 

Sekarang, aku telah datang memupuskan ratapanmu

Lantas, masihkah kau meragukan keadilan-Nya?

Aku masih menunggu jawabanmu dalam monolog hujan ini

Hanya Untaian Kata


1, 2, 3, 4, 5, …, 999, 1000, ….

Mungkin …, ini cuma angka

bahkan tak lebih dari sekadar numeralia atau pun matematika

Aku hanya berlogika

Aku masih berdiri sendiri

Di sabana beralaskan rerimbun duri

sembari melongo menghitung jemari

Berkhayal tentang alegori

dan mengintip langit penuh iri

yang indah tiada ciri

 

Tergilas deru sengkayan,

Terkuburnya senyuman,

Hilangnya sebuah pemahaman,

ketika nestapa nyanyikan lagu kenangan

Menyindir angan dalam kenyataan

dan yang tersisa hanya lamunan

yang hilang tanpa harapan

 

Aku hanya jelata

bahkan tak mengerti tentang eksakta

yang menantikan keakraban sebuah realita

di tengah elegi yang mengudeta

Sungguh … ini hanya cerita

karena sesungguhnya aku hanya ingin berkata ….

“Mungkin bagimu … ini hanya untaian kata semata”