Gunting & Sisir

Dalam deras hujan yang menggusur ketenangan, Paridi berdiri gelisah di ambang pintu rumahnya yang diseruduk banjir. Tangannya yang gemetar karena kedinginan, menggenggam erat gunting dan sisir, benda sederhana yang menjadi senjatanya untuk bertahan hidup. Paridi merenung pada jejak-jejak waktu yang terhempas sapuan banjir yang merenggut segala kenangan. Triplek-triplek yang menjadi tembok rumahnya sudah melapuk menyongsong petaka diobrak-abrik banjir, tapi di pandangannya masih berseri indah tiada tara.

Dengan langkah beriring gemetar, Paridi merayap dalam genangan banjir, membopong gunting dan sisir yang tersandera arus deras. Meskipun kehilangan segala harta benda, Paridi menolak untuk kehilangan dua benda sederhana yang menjadi saksi bisu dari kisah hidupnya. Di tengah seretan banjir yang mendera, Paridi laksana penari ulung yang meliuk-liukkan badan melawan gerusan banjir, membopong dengan kukuh gunting dan sisirnya sebagai simbol pengikat terhadap kisah masa lalu yang seakan ingin diceraikan oleh banjir.

Malam yang kelam tak menyurutkan harapannya. Paridi berjuang bukan hanya untuk menyelamatkan gunting dan sisirnya, tapi juga untuk menyelamatkan dirinya dari keputusasaan. Di bawah sorotan lampu jalan berhiaskan gerimis menjadi saksi tak terbantahkan atas perjuangannya. Dia meyakini bahwasanya harapan adalah satu-satunya harta yang masih dimilikinya, meskipun segalanya telah hilang. Kebahagiaan Paridi bukanlah tentang kepemilikan kembali terhadap harta bendanya yang dirampas badai kehidupan, melainkan keyakinan untuk tetap berani berdiri teguh melanjutkan hidup berbekal keahlian memainkan gunting dan sisirnya.