Si Pemalas; Pemimpin Generasi

 

Di bagian sudut kelas di SMA Mentari, terdapat seorang remaja bernama Alfath. Ia selalu menyembunyikan wajahnya di balik bukunya, lebih akrab bergaul dengan game daripada sorot mata teman-temannya. Sikapnya yang pendiam memastikan dirinya dijauhi oleh teman-temannya serta terpenjara dalam dunianya sendiri. Namun, sebenarnya Alfath adalah figur yang berbekalkan keunikan yang tersembunyi di balik sikap apatis yang selama ini disematkan kepadanya.

Di tengah hiruk-pikuk rutinitas sekolahnya yang monoton, tenyata Alfath mengadu kisah kasih dengan dunia digital. Berbekal bakat dan minatnya, dia memilih untuk menjadi konten kreator di platform YouTube. Dalam setiap langkah permainan yang dimainkannya, Alfath merajut cerita, merangkai kata-kata, dan memadukan alunan musik yang menggiring siapa pun yang menyaksikannya terhanyut ke dalam petualangan dan pengalaman yang penuh inspirasi.

Namun, perjalanan Alfath tidaklah selalu berbuah manis. Berbagai rasa pahit dalam kenyataan pernah dicicipinya. Kegagalan demi kegagalan tak ayal masih menjadi sahabat yang akrab menemaninya setiap kali ia mencoba sesuatu bermimpikan keberhasilan. Setiap buih kegagalan adalah bahan bakar pelecut semangatnya untuk mencipta yang lebih baik lagi. Kenyataannya, impian keberhasilan pun akhirnya tiba menyapanya. Kegigihannya pun terbayar lunas, Alfath akhirnya mengerti betul rasa manis buah kesabarannya setelah sekian waktu menelan berbagai pil pahit sebelumnya.

Sekarang, dengan jutaan pengikut, Alfath bukan hanya mengubah jalan takdirnya, tapi juga keluarganya. Buah keringat dari kontennya bukan lagi hanya sekadar kegembiraan pribadi, melainkan mata pencaharian yang dapat menyambung hidup keluarga dan menggandeng tangan tetangganya yang terjerembab dalam kesulitan.

Pada bagian kenyataan terdalam, Alfath bukan sekadar seorang pemain game. Ia adalah sosok yang tahu caranya memaknai hidup. Setiap kesalahan yang pernah ia tapaki di dunia game adalah pelajaran beharga dalam mengukir kisah hidup yang lebih baik.

Teman-temannya yang dulu mengucilkannya, kini terpukau oleh kenyataan. Rafi, teman sepermainanya yang juga teman sesekolahnya, yang akrab merasakan sentuhan kebaikan Alfath, menyuarakan cerita ini kepada semua orang. Bermodal rasa bangga, ia mengungkapkan bahwa Alfath bukanlah pribadi pemalas. Mungkin, ia terlihat memainkan perannya bermain-main dengan pelajarannya, tetapi ia adalah seorang yang justru tak pernah bermain-main dengan cita-citanya.

Para guru yang awalnya terbiasa sinis melihat potensi Alfath yang biasa-biasa saja, kini mengapresiasi kesuksesannya yang luar biasa. Alfath, si pemalas dan pemain game itu, kini menjadi pemimpin generasinya. Alfath bukan lagi sosok yang tersesat di tengah keramaian sekolah, melainkan pahlawan yang menunjukkan jalan sukses ke tujuan mimpi yang sebenarnya kepada teman-temannya. Dalam dunia yang pernah terabaikan, Alfath memungut kebahagiaannya dengan keyakinan bahwa kesejatian hidup adalah menjadi inspirasi bagi banyak orang di sekitarnya.

Garis Tangan, Campur Tangan, Tanda Tangan

 

Di balik temaram sorotan lampu-lampu malam yang menemani gelapnya jalanan, terhampar sebuah kenyataan pahit pada kota kecil yang akrab dengan kesunyian. Di sana, terdapat seorang pemuda bernama Arif yang menjalani hidup dalam pertempuran batin antara iktikat menjaga norma dan nilai agama dan hasrat duniawi yang menggiurkan. Dalam sendu diam, Arif menyaksikan riuh terpuruknya moralitas kota itu terjerembab dalam ketidakmurnian. Ia tergugu pada rasa prihatin menemukan isu-isu terlarang menghiasi hampir setiap sudut kota ini. Namun, kebisuannya bukanlah tanda persetujuan. Baginya, agama yang diimani dan diamininya bukanlah sekadar ritual pemujaan masjid, akan tetapi lebih dari itu jugalah implementasi nilai-nilai suci dalam berkehidupan.

Di sudut yang sama, terdapat seorang alim ulama yang bijak dalam memandang ikhwal jauh ke depan. Beliau, Kiai Hasan, mengilhami bahwasanya tidaklah cukup hanya dengan memahami agama tanpa menerapkannya dalam panggung kehidupan. Kiai Hasan dalam kesederhanaannya mengajarkan bahwa seorang muslim tidak selayaknya hanya berdiam diri menonton ketidakadilan dan moral yang membusuk dan menyerbak di tengah masyarakat.

Pada suatu malam yang gelap, Kiai Hasan dan Arif bertemu di serambi masjid. Arif mendekati Kiai Hasan dengan keraguan di mata dan hatinya, lalu membagikan kegelisahannya tentang kemerosotan moralitas yang mengakar di kota itu.

“Apakah tidak boleh bersikap tegas terhadap kebatilan yang terjadi di sekitar kita?” tanya Arif dengan ditumpahi rasa kecewa.

Kiai Hasan tersenyum lembut, “Arif, terkadang kita terlalu naif untuk menyikapi kenyataan ini. Kenyataannya, tidak cukup dengan ribuan fatwa yang digaungkan apabila tidak disertai dengan aksi nyata. Banyak yang memahami agama, namun sedikit sekali enggan berjuang mengamalkannya dalam kehidupan nyata.”

Arif terdiam seribu bahasa, menggodoknya dengan matang kalimat bijak sang kiai. Tetapi, ia masih bingung.

“Bagaimana kita dapat berbuat lebih banyak, Kiai?” tanya Arif dengan raut wajah penuh harap.

Kiai Hasan menatap dengan serius, “Selalu ada campur tangan Allah pada setiap garis tangan yang tertulis pada setiap manusia. Kamu harus memahami satu hal bahwasanya satu tanda tangan untuk menutup tempat haram lebih berarti daripada ribuan fatwa haram. Itulah politik yang sejati, Arif. Politik bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi politik juga tentang kebaikan umat, politik moralitas, serta politik untuk agama.”

Mata Arif berkaca-kaca mendengar kalimat bijak tersebut. Ia tersadar bahwasanya politik bukan hanya tentang sekadar merengkuh posisi atau kekuasaan semata, melainkan sebuah panggilan untuk memperjuangkan nilai-nilai suci. Sejak malam itu, Kiai Hasan dan Arif duduk bersama merancang langkah nyata guna memperbaiki moralitas kota. Mereka hadir melibatkan diri dalam dialog dengan khalayak, mengajak masyarakat untuk lebih aktif peduli terhadap moralitas serta berjuang bersama guna menutup tempat haram bernama lokalisasi yang menjadi sarang keburukan.

Malam menyapa dengan kelembutan, menerangi hamparan jalanan kota kecil dengan kilau cahaya remang-remang. Di sebuah ruang pertemuan yang sederhana, Arif dan Kiai Hasan dikerubungi oleh para pemuda dan tokoh masyarakat yang tergugah oleh semangat perubahan.

“Apa yang kita lakukan hari ini adalah wujud dalam menjunjung tinggi kebaikan kita semua,” ungkap Kiai Hasan dengan penuh keyakinan. “Ini bukan hanya tentang menutup lokalisasi, tetapi juga mengenai membangun kesadaran nilai-nilai luhur dalam agama yang kita junjung tinggi. Kita berharap dapat menciptakan kota yang akrab dengan kebaikan serta dirahmati Allah.”

Mendengar hal tersebut, semangat pun kian membara di hati para hadirin. Mereka membayangkan kota kecil tersebut kembali cerah, dipenuhi dengan rasa nyaman dan aman serta dinaungi dengan kebaikan. Mereka bukan hanya sekadar menjadi penonton semata, melainkan juga menjadi bagian dari gerakan perubahan tersebut. Dengan tekad bulat, Arif yang diamanahi oleh Kiai Hasan melangkah penuh yakin ke hadapan, memulai kampanye untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya berpolitik dalam arti sejati. Mereka berkumpul, bersinergi menyusun strategi, dan menggalang dukungan dari berbagai eleman masyarakat.

Tak lama kemudian, suara mereka pun mulai terdengar. Diskusi-diskusi publik digalakkan, seminar-seminar guna meningkatkan kesadaran moral digelar, dan petisi untuk menutup lokalisasi tersebut digaungkan dan tersebar luas. Bukan hanya pemuda, melainkan juga para ibu, bapak, dan tokoh-tokoh agama pun juga turut hadir dalam gerakan ini.

Langkah perjuangan mereka tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi setiap langkah kecil yang mereka lakukan membawa harapan baru untuk kota kecil tersebut. Ribuan fatwa haram masih terdengar dengan samar, tetapi satu tanda tangan penutupan tempat haram tersebut menggema lantang sebagai simbol kepedulian dan perubahan.

Pada akhirnya, ketabahan dan kesungguhan mereka membuahkan hasil. Setelah perjuangan yang panjang, pemerintah setempat akhirnya mengambil langkah tegas untuk menutup lokalisasi yang telah menjadi sumber keburukan bagi kota kecil mereka. Arif hadir sebagai pemimpin dan pimpinan kota tepilih berbekalkan keikhlasan dalam mengabdi kepada masyarakat serta mengembalikan marwah kebaikan dalam bermasyarakat. “Percayalah, pada setiap kebaikan selalu ada uluran rahmat Allah untuk mengiringinya. Mungkin ini telah menjadi garis tanganmu, Arif. Garis tangan yang mengantarkanmu pada sebuah niat baik yang tertunaikan bermodalkan tanda tangan kebaikan yang selalu kau perjuangkan. Inilah campur tangan Allah dalam mendukung niat baikmu. Kini, kau telah paham makna dari garis tangan, campur tangan, dan tanda tangan yang sebenarnya,” pesan Kiai Hasan kepada Arif.

Kota kecil tersebut perlahan mulai berseri kembali menyiratkan kebaikan dan kedamaian. Arif yang didukung oleh Kiai Hasan bersama dengan para pemuda dan masyarakat yang berjuang bersama mereka, mengukir jejak kebaikan yang tak terlupakan dalam sejarah kehidupan kota kecil yang mereka cintai tersebut. Mereka membuktikan bahwasanya seorang muslim tak selayaknya berdiam diri dalam menyikapi kebatilan karena berpolitik bukan hanya tentang urusan kekuasaan, tetapi lebih dari itu juga panggilan moral yang harus diemban demi kebaikan bersama.