Potongan Surga

 

Tiada yang lebih tenang selain pandangan sepasang mata itu ke danau yang ada di hadapannya. Matahari sudah akan pamit pulang di ufuk barat, tetapi ia masih terpaku duduk sendiri di bawah pohon mangga yang rindang seraya mendekapkan kepalanya di atas pangkuan tangannya sendiri. Remaja berusia tujuh belas tahun itu selalu menyuguhkan kecenderungan untuk berkhayal, terutama mengenai hidup dan kehidupan. Hari itu, bayangan awan yang bergerak perlahan di langit biru pun memicu imajinasinya. Dia merasa seakan ada pesan tersirat di dalam imajinasinya itu.

Adam menutup matanya dan membiarkan dirinya terbawa dalam khayalannya. Desir dedaunan yang gugur tak mampu mengusik kekhusyukan khayalannya. Khayalan yang memboyongnya pergi ke dunia yang tak pernah ia yakini kepastian keberadaannya. Sebuah tempat tak terikat oleh batas ruang dan waktu. Tempat tentang segala hal terasa lebih nyata daripada dunia nyata itu sendiri.

Adam berusaha melangkah dengan yakin. Melangkah di atas permukaan yang tampaknya terbuat dari cahaya. Dia menyaksikan sembari melongo keindahan yang tak terungkapkan itu. Bunga-bunga yang bersinar dengan warna-warni yang belum pernah ia lihat di tempat ia berpijak selama ini, pepohonan yang bernyanyi dengan merdu, dan sungai yang mengalir dengan air yang bersinar bak kristal.

Tiada rasa sakit atau penderitaan di sana. Hanya kedamaian yang menyelimuti setiap sudut. Adam bertemu dengan orang-orang yang pernah meninggalkannya di tempat bernama dunia ini. Mereka mengukir senyum kepadanya dengan indah, memberinya kehangatan yang ia rasakan hingga menyerbu ke dalam relung jiwanya.

Tiada kata-kata yang pantas untuk menggambarkan tempat ini, namun segala sesuatu terasa dipahami tanpa perlu diucapkan. Adam merasakan kebebasan yang tak terbatas, dia terbang menyisiri langit dengan sayap yang terasa ringan. Setiap kali dia menengadahkan wajahnya ke langit, dia merasakan kehadiran yang lebih besar dari dirinya sendiri. Namun, di tengah keindahan dan ketenangan tersebut, ada sesuatu yang memanggilnya kembali. Sebuah getaran halus namun kuat yang membawanya kembali ke tepi danau sebelumnya. Adam membuka matanya, kembali ke hidup dan kehidupan yang ia anggap tidak nyata. Kenyataannya, ia berada di dunia nyata yang akrab dengan realita. Realita tentang kekaguman dan kerinduan akan momen-momen dalam khayalannya. Dia merasa tertantang untuk mengubah dunia ini sedikit lebih seperti imajinasinya. Imajinasi tentang jawaban atas pertanyaan, bagaimana bisa dia membagikan keindahan dan kedamaian yang dirasakannya dalam khayalannya kepada orang lain? Bagaimana bisa dia membantu menciptakan sedikit ceruk surga di bumi ini? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tak pernah ia pahami jawabannya.

Dia mengangkat batu kecil dan melemparkannya ke danau. Deru ombak kecil menyebar di permukaan air yang tenang, memantulkan sinar senja yang memukau. Itu membuatnya tersadar. Seperti batu yang memecah kesunyian danau, mungkin kebaikan dan kasih yang dia sebarkan akan menjadi gelombang ombak kebaikan yang lebih besar di dunia ini.

Adam berdiri, langkahnya mantap dan yakin ketika dia memutuskan untuk membawa momen-momen damai dari khayalannya ke kehidupan nyata. Dia ingin berbagi kebaikan dan kedamaian, membangun istana surga kecil di sekitarnya dengan langkah sederhana yang dia lakukan setiap hari. Mungkin, dengan menanam banyak kedamaian, kebaikan, dan pemahaman di antara sesama, dia dapat sedikit demi sedikit menciptakan potongan surga yang ia impikan.

Kini, Adam paham betul apa yang diajarkan oleh gurunya bahwasanya ketika kita mati, kita akan terbangun bahwa hidup ini adalah mimpi. Adam memetik hikmah bahwa kehidupan setelah mati bukan hanya tentang akhirat saja, tetapi juga tentang cara kita menjalani hidup kita di dunia ini. Dengan tekad yang kuat dan hati yang penuh cinta, dia yakin bahwa setiap orang dapat membawa sedikit dari surga ke dalam hidup mereka dan hidup orang lain sebagai bekal tiket masuk menuju surga-Nya.