Tangisan Nasi

Siapa sangka, kalimat sederhana itu justru membuatku babak belur dan ingatanku terbentur kenyataan dengan keras. Aku benar-benar terkulai tak berdaya meratapi penyesalan yang tak pernah ku pahami maknanya. Makna hidup yang sebelumnya aku telah diingatkan akan sebuah kenyataannya, yang kala itu masih menjadi imajinasiku. Kini, semuanya telah menjadi kenyataanku, sekaligus juga tetap menjadi kenyataannya. Kenyataan yang bermula dari sebuah peristiwa yang biasa disebut de javu.

Tak ada yang menyangka dan percaya kalau aku kini harus terkapar lesu menghadapi tamparan sangkaan yang sebelumnya tak kupercaya adanya. Kalimat itu menjadi guru terbaik yang mengulurkan tangannya untuk mengajariku tentang sebuah keadaan yang tak diinginkan siapapun namun menyiratkan makna mendalam tentang inilah hidup.

Aku selalu meremehkan kisah ayah yang selalu mengagungkan kenyataan yang dihadapinya. Memaksaku menerima kenyataan yang sebenarnya bukan menjadi kenyataanku. Ayah selalu sambat kepadaku tentang hidup dengan dalih mengajariku untuk menerima kenyataannya. Mengajariku tentang kenyataan yang mungkin bisa jadi kenyataanku pula di masa yang akan datang. Namun, kenyataannya justru kenyataan itu hanya kuanggap bualan yang tak penting untuk disikapi secara penting.

Percuma untukku memutar kembali waktu yang telah berlalu. Aku terlalu naif untuk menerima semuanya. Kebodohan masih saja akrab menjadi pesonaku, khususnya sebagai manusia dewasa yang tak pernah dewasa dan didewasakan oleh waktu. Aku benar-benar berterima kasih kepada ayah yang sekarang telah membangunkanku dari imajinasiku. Meskipun, ia telah terlelap dalam tidurnya saat ini.

Sekarang, aku bersiap menggantikan peran ayah menjadi ayah untuk sebuah status yang dulunya kuanggap pecundang. Pecundang hidup yang tak bisa memperbaiki kenyataan kehidupan. Mulai sekarang, aku akan memulai berbohong kepada diriku sendiri bahwa aku mampu memainkan perannya. Hal itu adalah hal yang sangat mengerikan ketika aku tidak mau tapi dipaksa mengakui keadaan bahwa apa yang dulunya ia katakan adalah kebenaran. Kalimat sederhana yang membenarkan bahwa aku salah. Kalimat sederhana berlantukan, “Nak, kalau makan nasinya dihabisin ya, nanti kalau gak habis nasinya nangis,” ujar sang ayah kala mengingatkan anaknya itu.