Mereka merayakan kerugiannya. Kerugian yang tak pernah mereka sadari. Kerugian yang bertopengkan kenikmatan dan seringkali mereka sebut bahwa itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Mereka lupa atau bahkan memang sejatinya mereka tak pernah ingat bahwa mereka tersesat dalam jalan pulang menuju tujuan hidup ini yang sebenarnya.
Lebih dari sekadar detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan ikhwal lainnya mengenai waktu. Mereka membakarnya dengan perayaan yang identik dengan masturbasi budaya. Alih-alih memaknainya dengan introspeksi tentang kebangkrutan yang dialami dalam kurun masa yang telah dilalui, malah sebaliknya, mereka merayakannya dengan membangun mitologi mengenai harapan dan keberuntungan. Kembang api dan terompet seakan menjadi atribut rekreasi mereka merayakan sebuah kebahagiaan palsu. Kebahagiaan yang bernafaskan budaya berlibur dari sebuah perjalan akhir waktu sekaligus awal waktu yang tak ayal merupakan antiklimaks dari kenikmatan yang semu.
Tak ada panggilan batin dalam diri mereka dan tak ada tuntutan untuk memaknai lebih dari sekadar bertahan hidup di waktu mereka masih diberi kesempatan oleh Sang Illahi untuk menghela nafas. Jangankan untuk berharap untuk dapat memantik diri untuk merenung akan kenikmatan pencipta-Nya, malahan mereka mengingkari tujuan hidup sekaligus alasan keberadaan mereka diadakan di dunia yang seringkali disebut kefanaan.
Sekali lagi, mereka merayakan kerugiannya. Pergantian waktu atau yang sebenarnya waktu yang terbuang tersebut mereka kukuhkan sebagai ajang menjadikan waktu sebagai sampah. Membuangnya dengan kesan tanpa arti. Mereka benar-benar tak menghargainya. Mereka lupa bahwa contoh kecil untuk dapat memaknai nikmat yang besar (waktu) tersebut tak ayal dapat dimulai dari hal yang sederhana. Berpikirlah sehat sebelum sakit. Layaknya seorang anak yang mengantarkan ibunya yang sedang sekarat ke rumah sakit. Setiap detik, menit, atau jam sangatlah penting dan berarti. Bahkan, ia terus dirundung ketakutan akan kematian yang bisa jadi menjadi konsekuensi dari kegagalan memanfaatkan waktu tersebut. Bukan hanya memanfaatkan waktu untuk melakukan penyelamatan hidup, melainkan memanfaatkan hidup selama ini untuk tujuan keselamatan hidup yang sejati kelak. Sadarkah bahwa cepat sekali waktu berlalu. Lengah sejenak jadi siang, lelap sebentar jadi malam, lalai dan luput sesaat bisa diujung sesal.
Lagi dan lagi, mereka masih merayakan kerugiannya. Kerugian waktu yang ditandai dengan pergantian waktu. Pergantian dari 31 menuju 1, 23.59 menuju 00.00, malam menuju pagi, dan hal-hal lainnya yang sebenarnya tidak berguna untuk digunakan sebagai perayaan. Perayaan pergantian yang tak ayal selama ini menggiring pada rasa lupa tentang kesadaran waktu. Mereka adalah segerombolan orang bodoh yang berharap ke tahun, bukan ke Tuhan. Akhirnya, kenyataan pahit yang tak dapat ditampik kebenarannya adalah bahwa Allah telah bersumpah atas nama waktu dan menyebut bahwa manusia telah berada dalam kerugian. Kini, mereka membenarkannya bahkan merayakan kebenaran yang Sang Illahi tetapkan dengan kebenaran versi mereka yang seringkali disebut bahwa inilah kebenaran hidup dan hidup yang sebenarnya.