Lagi, lagi, dan lagi. Untuk kesekian kalinya, Adi harus menelan pil pahit dalam ajang lomba balap sepeda yang diikutinya. Ia seakan merasa ditertawakan kenyataan bahwa kata sandang kegagalan selalu akrab tersemat dalam dirinya. Ia selalu tertekur lesu dalam setiap lomba yang digelutinya. Pasalnya, kayuhan sepedanya tak mampu mengantarkannya meraih impian yang dirindukannya.
Kekecewaan tersebut kian membuncah manakala balada tentang elegi tersebut disaksikan langsung oleh sang ayah yang selalu mendampinginya. Ayahnya hanya tersenyum tipis sembari bertepuk tangan ringan ketika menyaksikan Adi jatuh tersungkur dari sepedanya. Adi heran ketika sosok berambut cepak itu begitu menyambut, bahkan merayakan kegagalannya tersebut. Rasa simpati terhadap kegagalan anaknya rasanya hilang dalam relung hati lelaki yang dikenal mantan atlet sepeda nasional tersebut. Lelaki berpostur tinggi tersebut seakan tidak peduli dengan rundungan kekecewaan anak sulungnya itu.
Perasaan
benci datang menghujam setiap sudut ruang benak Adi. Persepsi tentang rasa
sayang seorang ayah terhadap anak seakan bukan menjadi bagian dari keluarga
Adi. Adi benar-benar kehilangan jati dirinya untuk mencari motivasi guna keluar
dari belenggu mimpi buruk yang semakin lama membunuh semangatnya untuk balapan.
Begitu menyakitkan.
Deru
debu beterbangan memeluk langit berhiaskan terik matahari. Saat itulah, Adi
meruntuhkan dinding labirin tanda tanya yang selama ini menyesatkannya. Rasa
haus akan kasih sayang seorang ayah tak ayal sebenarnya telah memayungi setiap
langkah terjalnya. Ayahnya selalu siaga berdiri di belakang menangkap dan
mengangkat kembali kebangkitan sang anak ketika putranya sedang jatuh. Sayangnya, Adi tak
menyadari hal itu. Remaja berkulit sawo matang tersebut terlupa untuk melihat kebelakang mengenai kenyataan yang
sebenarnya tak seharusnya ia tampik.
Keheranan Adi runtuh terusir kenyataan yang baru saja dipahami bahwa sang ayah sangatlah bangga dengan kegagalannya. Lelaki beruban tersebut menganggap bahwa putra kebanggaannya tersebut telah berhasil menemukan sejuta kekalahan yang benar, sebelum akhirnya nantinya menemukan satu kemenangan yang sebenarnya. Kekalahan yang mengantarkan Adi pada kesejatian proses bahwa kemenangan bak mengayuh sepeda. Mengulang-ulang kesalahan tentu akan mengantarkan Adi pada tujuan yang didambakan, yakni, kemenangan.
“Kau harus mengayuh sepedamu, Nak. Kekalahan selalu akrab dengan kemenangan dan kau harus yakin itu. Yakinlah, kekalahan ini akan mengantarkanmu ke tujuan yang kau sebut kemenangan,“ ujar sang ayah sembari menepuk pundak anaknya tersebut.