Matahari & Bulan

Mengapa matahari dan bulan tak pernah bersatu? Bukankah Tuhan menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan dan menjadikannya bersatu untuk saling melengkapinya seperti layaknya laki-laki dan perempuan? Jika memang demikian, tak seharusnya Tuhan memisahkan keduanya dan menyalahi kodratnya sebagai sepasang ciptaannya yang seharusnya bersatu dalam ikatan kemesraan. Pertanyaan tersebut seakan menghakimi kuasa Tuhan yang tahu persis tujuan penciptaannya. Dulu, keyakinan yang teguh diagungkan, kini kenyataannya menjadi bimbang yang mengundang peperangan hati dan logika.

Siapa bilang matahari dan bulan tak bersatu? Justru karena mereka selalu bersatu hingga mereka terkadang lupa bahwa sebenarnya mereka selalu menghabiskan waktu mengukir kisah sepanjang hari di langit Tuhan. Mereka memang dipisahkan oleh jarak dan waktu, namun tak berarti tak saling melengkapi. Apakah kau malah tak khawatir jika keduanya selalu berjalan bersama sepanjang hari? Bukankah dunia akan kacau balau dengan banyaknya cahaya yang terpancar secara bersamaan. Manusia akan kesulitan membagi waktu bekerja dan istirahatnya, hewan pun juga akan kebingungan menentukan waktunya untuk mencari makanan dan menghangatkan tubuh, tumbuhan akan panik menentukan masanya untuk berfotosintesis, bahkan dunia pun akan semrawut dengan ketitdakjelasan waktu hidup yang tiada batas.

Matahari dan bulan sejatinya hadir untuk saling melengkapi perjuangan mereka dalam membantu kita untuk memahami sebuah kehidupan. Kehidupan yang sebenarnya manakala keyakinan akan sebuah argumentasi bermaknakan bahwa setiap hal diciptakan secara berpasangan. Meski diciptakan secara berpasangan, setiap ikhwal tentunya tak luput dari kodrat tugasnya dalam berbagi peran. Matahari bertugas berkelana di langit yang terang, sedangkan bulan bertugas mengembara di langit yang kelam. Di taman langit yang terang, matahari bersinar cerah dengan teriknya. Namun, ketika langit menghitam karena malam, tibalah matahari untuk menyingkir dan memberikan kesempatan kepada bulan berkilau bahagia dengan pesonanya di malam hari.

Inilah cinta sejati. matahari dan bulan yang saling mencintai dengan bentuk yang berbeda. Mereka saling membebaskan satu sama lain. Memainkan perannya sesuai kodrat illahi. Mereka memahami betul bahwa cinta adalah milik semesta. Cinta lebih indah bila tidak saling memiliki karena pada hakikatnya semua hal adalah milik illahi. Mereka mencintai semesta ini sesuai sabda illahi bahwa menerangi setiap sudut bumi adalah takdir hidup mereka. Mereka melakukannya dengan saling berbagi satu sama lain. Matahari memancarkan cahaya dan bulan bertugas memantulkannya.

Kini, dari berbekal ilmu, aku telah belajar bahwa ada sesuatu yang tak dapat dipaksakan layaknya matahari dan bulan. Mungkin benar adanya, sepandai apapun kita berdebat menghakimi matahari dan bulan yang tak pernah bersatu, maka kebenaran yang hakiki yang harus dipahami adalah bahwa mereka tak ditakdirkan untuk berpelukan. Mereka hanya dipersatukan lewat kodrat mereka untuk saling melengkapi. Tak ada perbandingan yang sepadan antara takdir kita dengan hal yang lain. Tidak ada perbandingan antara matahari dan bulan, mereka bersinar saat waktunya tiba, sesuai jalan cinta mereka yang telah dititahkan sang illahi. Inilah tiga hal yang tak dapat kita elakkan kebenarannya: matahari, bulan, dan kebenaran itu sendiri.

Monolog Cinta

Semua berawal dari pengandaian. Tentang dialog jiwa, antara aku dan kenyataan ini. Akan butuh waktu lebih dari sekadar kata melelahkan dan membingungkan untuk menjawabnya. Bahkan penyair pun mungkin hanya bisa menerka-nerka tanpa tahu kebenarannya.

Malam itu langit bertabur tanda tanya, tentang ini dan itu. Hari esok yang harus kupikirkan. Butuh waktu satu semester bagiku untuk belajar tentang puisi. Butuh waktu lebih lama untukku bisa menulis indahnya puisi. Tapi sayang, ketika aku sanggup menulisnya, aku tersadar bahwa aku hanya menulis segerombolan kata-kata indah tanpa memahami artinya.

“Mengapa harus puisi?” batinku.

Siapa lagi yang bisa menjawabnya kalau bukan diri ini. Banyak persepsi saling adu argumen untuk memahami makna puisi. Hakikat puisi.

“Siapa yang benar?” gumamku.

Tanyakan pada orang yang jatuh cinta, tanyakan pada orang yang menangis, tanyakan pada orang yang kritis, tanyakan pada orang yang patriotis, tanyakan pada orang yang religius, tanyakan pula pada orang-orang lainnya. Jawabannya cuma satu, aku pun juga tidak tahu.

Malam itu langit bertabur tanda tanya, tentang ini dan itu. Hari esok yang harus kupikirkan. Butuh waktu satu semester bagiku untuk belajar tentangnya. Dia. Butuh waktu lebih lama untukku memahaminya. Tapi sayang, ketika aku mengenalnya, aku melupakannya kalau aku belum memahaminya.

“Siapa dia?” gumam hatiku.

Ku tanyakan pada pikir ini, hati ini, jiwa ini, rintihan ini, kesedihan ini, dan ini-itu lainnya. Jawabannya cuma satu, cukup aku yang tahu.

Lebih dari inspirasi, motivasi, dan apapun itu. Dia. Yang telah membangunkanku dari kelamnya malam, yang telah membangkitkanku dari kuburan senyuman, dan yang telah mangantarkanku pada sebuah kisah. Cinta.

Entah ini sebuah prolog atau epilog tentang kisah ini ditulis. Di sini … aku masih berdiri sendiri sembari memikirkan skenario yang akan ku mainkan. Menantikan sang sutradara memberikan aba-aba untukku memulainya. Ternyata ... aku hanya sebagai monolog yang berkisah dari sudut pandang orang ketiga.

Harap-cemas peran ini ku nantikan untuk berakhir, karena aku terlalu lelah untuk semua ini. Ketidakadilan yang harus ku pahami artinya lebih dari sekadar kata adil untuk orang lain. Ia ibarat angin yang terkadang menyejukkanku dengan gemulai tariannya, namun terkadang pula ia bertiup cukup kencang hingga buatku terkapar jatuh dalam ketidakberdayaan. Entahlah … aku tak tahu pasti apa yang akan terjadi, tapi sang penyair tahu pasti tentang apa yang akan terjadi.

Selalu kutanamkan cinta ini dalam waktuku. Aku tak ingin rasa ini sirna begitu saja terhempas kesunyian, karena bagiku ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan ini sebagai antiklimaks pertanda kisah ini akan berakhir, walaupun sebenarnya waktu ini hampir habis terkikis deru air mata.

Seuntai kata darinya cukup untuk menghangatkan jiwa ini dan menyenyakkan tidurku. Tersirat maupun tersurat. Terkadang aku lupa caranya tersenyum, namun dia mengajarkanku tentang cara tersenyum lewat senyumannya, meski terkadang pula seuntai kata darinya mampu menenggelamkanku dalam kepekatan. Kepekatan malam yang dengan paksanya mengusir pagiku dengan kesedihan. Karena aku memang tak tahu, apakah aku harus bersedih atau tersenyum?.

Kalau sudah begini, aku hanya bisa bergegas melapor kepada “Sang Penyair”, tentang perjalanan ini dititiskan kepadaku. Aku selalu berharap, berharap, dan berharap sang penyair merevisi skenarionya. Memberiku kesempatan untuk memainkan skenarionya bersamanya, namun bukan sebagai cerita melainkan realita.

Bukan tentang apa kisah ini ditulis, tapi untuk apa kisah ini tertulis.

“Percayakah?” renungku.

Akan butuh perjudian hati untuk menjawabnya. Percaya atau tidak percaya adalah jawaban yang objektif untuk menyikapinya. Mungkin terlalu muda bagiku untuk mengatakan “mudah”. Padahal aku hanya berharap,”mudah-mudahan semuanya mudah”.

Bukan pelarian, tapi aku hanya ingin berlari.

“Salahkah?” renungku.

Mungkin aku tidak tahu jawabannya, tapi sesungguhnya hanya ada satu alasan tepat untuk menjawab semua ini. Semua tentang kita. Semua tentang kita yang hanya sekadar cerita. Cerita cinta yang ku pasrahkan pada waktu untuk mengungkapnya. Dan dia memang benar, ”berlari sendirian itu melelahkan”. Mungkin inilah sebuah kebenaran yang paling benar.

Aku selalu mengingatnya, kata-kata yang menuntunku pada semua ini. Apa adanya. Bukan apa-apa atau pun ada-ada saja, tapi tentang kisah ini berawal ku tulis dan tertulis.

Andai semua ini bukan pengandaian. Takkan ada hari ini yang akan ku anggap sebuah kenangan, karena aku akan selalu bilang, “inilah kenyataan”. Dan semuanya akan terangkai dan terbingkai dengan manis dalam alurnya.

Mencintai cinta membutuhkan keyakinan untuk memulainya, karena ketika cinta telah mencintai cinta jangan pernah untuk mengali atau membaginya, seperti angka yang selau bimbang dengan akhirnya. Bahkan tukang foto pun seakan dibodohi dengan fiksi dengan menganggapnya kalau ini adalah sebuah kenyataan. Kenyataan tentang 3x4 = 700, 4x6 = 1000, dan kenyataan-kenyataan lainnya yang tak pernah ku terpikirkan kebenarannya. Entahlah, sulit tuk ku mengerti semua ini.

“Dan lagi, siapa yang salah?” bimbangku.

Dan aku hanya bisa menyalahkan keadaan yang sesungguhnya tak tahu apa-apa tentang sesuatu yang telah terjadi. Tentang kenyataan yang harusnya aku tahu bahwa inilah kebenaran. Kebenaran sejati yang tak pernah mengada-ada.

“Lalu apa yang harus ku lakukan selanjutnya?” tanyaku kembali pada hati yang bimbang.

Aku tahu atau aku hanya sok tahu. Mungkin ini cuma sebuah teoretis di atas karya tulis, atau filosofis? fanatis? pragmatis? atau realistis? tanyakan pada is …, is … lainnya. 

Walau aku tak pernah tahu apa yang dia mau. Yang ku tahu hanyalah, “Terkadang orang terlalu angkuh untuk mengakui cinta. Padahal yang harus disiapkan ketika kita jatuh cinta hanyalah satu. Menyiapkan hati untuk terluka”, mungkin dia tahu.