Rugi

 

Mereka merayakan kerugiannya. Kerugian yang tak pernah mereka sadari. Kerugian yang bertopengkan kenikmatan dan seringkali mereka sebut bahwa itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Mereka lupa atau bahkan memang sejatinya mereka tak pernah ingat bahwa mereka tersesat dalam jalan pulang menuju tujuan hidup ini yang sebenarnya.

Lebih dari sekadar detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan ikhwal lainnya mengenai waktu. Mereka membakarnya dengan perayaan yang identik dengan masturbasi budaya. Alih-alih memaknainya dengan introspeksi tentang kebangkrutan yang dialami dalam kurun masa yang telah dilalui, malah sebaliknya, mereka merayakannya dengan membangun mitologi mengenai harapan dan keberuntungan. Kembang api dan terompet seakan menjadi atribut rekreasi mereka merayakan sebuah kebahagiaan palsu. Kebahagiaan yang bernafaskan budaya berlibur dari sebuah perjalan akhir waktu sekaligus awal waktu yang tak ayal merupakan antiklimaks dari kenikmatan yang semu.

Tak ada panggilan batin dalam diri mereka dan tak ada tuntutan untuk memaknai lebih dari sekadar bertahan hidup di waktu mereka masih diberi kesempatan oleh Sang Illahi untuk menghela nafas. Jangankan untuk berharap untuk dapat memantik diri untuk merenung akan kenikmatan pencipta-Nya, malahan mereka mengingkari tujuan hidup sekaligus alasan keberadaan mereka diadakan di dunia yang seringkali disebut kefanaan.

Sekali lagi, mereka merayakan kerugiannya. Pergantian waktu atau yang sebenarnya waktu yang terbuang tersebut mereka kukuhkan sebagai ajang menjadikan waktu sebagai sampah. Membuangnya dengan kesan tanpa arti. Mereka benar-benar tak menghargainya. Mereka lupa bahwa contoh kecil untuk dapat memaknai nikmat yang besar (waktu) tersebut tak ayal dapat dimulai dari hal yang sederhana. Berpikirlah sehat sebelum sakit. Layaknya seorang anak yang mengantarkan ibunya yang sedang sekarat ke rumah sakit. Setiap detik, menit, atau jam sangatlah penting dan berarti. Bahkan, ia terus dirundung ketakutan akan kematian yang bisa jadi menjadi konsekuensi dari kegagalan memanfaatkan waktu tersebut. Bukan hanya memanfaatkan waktu untuk melakukan penyelamatan hidup, melainkan memanfaatkan hidup selama ini untuk tujuan keselamatan hidup yang sejati kelak. Sadarkah bahwa cepat sekali waktu berlalu. Lengah sejenak jadi siang, lelap sebentar jadi malam, lalai dan luput sesaat bisa diujung sesal.

Lagi dan lagi, mereka masih merayakan kerugiannya. Kerugian waktu yang ditandai dengan pergantian waktu. Pergantian dari 31 menuju 1, 23.59 menuju 00.00, malam menuju pagi, dan hal-hal lainnya yang sebenarnya tidak berguna untuk digunakan sebagai perayaan. Perayaan pergantian yang tak ayal selama ini menggiring pada rasa lupa tentang kesadaran waktu. Mereka adalah segerombolan orang bodoh yang berharap ke tahun, bukan ke Tuhan. Akhirnya, kenyataan pahit yang tak dapat ditampik kebenarannya adalah bahwa Allah telah bersumpah atas nama waktu dan menyebut bahwa manusia telah berada dalam kerugian. Kini, mereka membenarkannya bahkan merayakan kebenaran yang Sang Illahi tetapkan dengan kebenaran versi mereka yang seringkali disebut bahwa inilah kebenaran hidup dan hidup yang sebenarnya.

Bangga

 

Lagi, lagi, dan lagi. Untuk kesekian kalinya, Adi harus menelan pil pahit dalam ajang lomba balap sepeda yang diikutinya. Ia seakan merasa ditertawakan kenyataan bahwa kata sandang kegagalan selalu akrab tersemat dalam dirinya. Ia selalu tertekur lesu dalam setiap lomba yang digelutinya. Pasalnya, kayuhan sepedanya tak mampu mengantarkannya meraih impian yang dirindukannya.

Kekecewaan tersebut kian membuncah manakala balada tentang elegi tersebut disaksikan langsung oleh sang ayah yang selalu mendampinginya. Ayahnya hanya tersenyum tipis sembari bertepuk tangan ringan ketika menyaksikan Adi jatuh tersungkur dari sepedanya. Adi heran ketika sosok berambut cepak itu begitu menyambut, bahkan merayakan kegagalannya tersebut. Rasa simpati terhadap kegagalan anaknya rasanya hilang dalam relung hati lelaki yang dikenal mantan atlet sepeda nasional tersebut. Lelaki berpostur tinggi tersebut seakan tidak peduli dengan rundungan kekecewaan anak sulungnya itu.

Perasaan benci datang menghujam setiap sudut ruang benak Adi. Persepsi tentang rasa sayang seorang ayah terhadap anak seakan bukan menjadi bagian dari keluarga Adi. Adi benar-benar kehilangan jati dirinya untuk mencari motivasi guna keluar dari belenggu mimpi buruk yang semakin lama membunuh semangatnya untuk balapan. Begitu menyakitkan.

Deru debu beterbangan memeluk langit berhiaskan terik matahari. Saat itulah, Adi meruntuhkan dinding labirin tanda tanya yang selama ini menyesatkannya. Rasa haus akan kasih sayang seorang ayah tak ayal sebenarnya telah memayungi setiap langkah terjalnya. Ayahnya selalu siaga berdiri di belakang menangkap dan mengangkat kembali kebangkitan sang anak ketika putranya sedang jatuh. Sayangnya, Adi tak menyadari hal itu. Remaja berkulit sawo matang tersebut terlupa untuk melihat kebelakang mengenai kenyataan yang sebenarnya tak seharusnya ia tampik.

Keheranan Adi runtuh terusir kenyataan yang baru saja dipahami bahwa sang ayah sangatlah bangga dengan kegagalannya. Lelaki beruban tersebut menganggap bahwa putra kebanggaannya tersebut telah berhasil menemukan sejuta kekalahan yang benar, sebelum akhirnya nantinya menemukan satu kemenangan yang sebenarnya. Kekalahan yang mengantarkan Adi pada kesejatian proses bahwa kemenangan bak mengayuh sepeda. Mengulang-ulang kesalahan tentu akan mengantarkan Adi pada tujuan yang didambakan, yakni, kemenangan.

“Kau harus mengayuh sepedamu, Nak. Kekalahan selalu akrab dengan kemenangan dan kau harus yakin itu. Yakinlah, kekalahan ini akan mengantarkanmu ke tujuan yang kau sebut kemenangan, ujar sang ayah sembari menepuk pundak anaknya tersebut.

Matahari & Bulan

Mengapa matahari dan bulan tak pernah bersatu? Bukankah Tuhan menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan dan menjadikannya bersatu untuk saling melengkapinya seperti layaknya laki-laki dan perempuan? Jika memang demikian, tak seharusnya Tuhan memisahkan keduanya dan menyalahi kodratnya sebagai sepasang ciptaannya yang seharusnya bersatu dalam ikatan kemesraan. Pertanyaan tersebut seakan menghakimi kuasa Tuhan yang tahu persis tujuan penciptaannya. Dulu, keyakinan yang teguh diagungkan, kini kenyataannya menjadi bimbang yang mengundang peperangan hati dan logika.

Siapa bilang matahari dan bulan tak bersatu? Justru karena mereka selalu bersatu hingga mereka terkadang lupa bahwa sebenarnya mereka selalu menghabiskan waktu mengukir kisah sepanjang hari di langit Tuhan. Mereka memang dipisahkan oleh jarak dan waktu, namun tak berarti tak saling melengkapi. Apakah kau malah tak khawatir jika keduanya selalu berjalan bersama sepanjang hari? Bukankah dunia akan kacau balau dengan banyaknya cahaya yang terpancar secara bersamaan. Manusia akan kesulitan membagi waktu bekerja dan istirahatnya, hewan pun juga akan kebingungan menentukan waktunya untuk mencari makanan dan menghangatkan tubuh, tumbuhan akan panik menentukan masanya untuk berfotosintesis, bahkan dunia pun akan semrawut dengan ketitdakjelasan waktu hidup yang tiada batas.

Matahari dan bulan sejatinya hadir untuk saling melengkapi perjuangan mereka dalam membantu kita untuk memahami sebuah kehidupan. Kehidupan yang sebenarnya manakala keyakinan akan sebuah argumentasi bermaknakan bahwa setiap hal diciptakan secara berpasangan. Meski diciptakan secara berpasangan, setiap ikhwal tentunya tak luput dari kodrat tugasnya dalam berbagi peran. Matahari bertugas berkelana di langit yang terang, sedangkan bulan bertugas mengembara di langit yang kelam. Di taman langit yang terang, matahari bersinar cerah dengan teriknya. Namun, ketika langit menghitam karena malam, tibalah matahari untuk menyingkir dan memberikan kesempatan kepada bulan berkilau bahagia dengan pesonanya di malam hari.

Inilah cinta sejati. matahari dan bulan yang saling mencintai dengan bentuk yang berbeda. Mereka saling membebaskan satu sama lain. Memainkan perannya sesuai kodrat illahi. Mereka memahami betul bahwa cinta adalah milik semesta. Cinta lebih indah bila tidak saling memiliki karena pada hakikatnya semua hal adalah milik illahi. Mereka mencintai semesta ini sesuai sabda illahi bahwa menerangi setiap sudut bumi adalah takdir hidup mereka. Mereka melakukannya dengan saling berbagi satu sama lain. Matahari memancarkan cahaya dan bulan bertugas memantulkannya.

Kini, dari berbekal ilmu, aku telah belajar bahwa ada sesuatu yang tak dapat dipaksakan layaknya matahari dan bulan. Mungkin benar adanya, sepandai apapun kita berdebat menghakimi matahari dan bulan yang tak pernah bersatu, maka kebenaran yang hakiki yang harus dipahami adalah bahwa mereka tak ditakdirkan untuk berpelukan. Mereka hanya dipersatukan lewat kodrat mereka untuk saling melengkapi. Tak ada perbandingan yang sepadan antara takdir kita dengan hal yang lain. Tidak ada perbandingan antara matahari dan bulan, mereka bersinar saat waktunya tiba, sesuai jalan cinta mereka yang telah dititahkan sang illahi. Inilah tiga hal yang tak dapat kita elakkan kebenarannya: matahari, bulan, dan kebenaran itu sendiri.

Monolog Cinta

Semua berawal dari pengandaian. Tentang dialog jiwa, antara aku dan kenyataan ini. Akan butuh waktu lebih dari sekadar kata melelahkan dan membingungkan untuk menjawabnya. Bahkan penyair pun mungkin hanya bisa menerka-nerka tanpa tahu kebenarannya.

Malam itu langit bertabur tanda tanya, tentang ini dan itu. Hari esok yang harus kupikirkan. Butuh waktu satu semester bagiku untuk belajar tentang puisi. Butuh waktu lebih lama untukku bisa menulis indahnya puisi. Tapi sayang, ketika aku sanggup menulisnya, aku tersadar bahwa aku hanya menulis segerombolan kata-kata indah tanpa memahami artinya.

“Mengapa harus puisi?” batinku.

Siapa lagi yang bisa menjawabnya kalau bukan diri ini. Banyak persepsi saling adu argumen untuk memahami makna puisi. Hakikat puisi.

“Siapa yang benar?” gumamku.

Tanyakan pada orang yang jatuh cinta, tanyakan pada orang yang menangis, tanyakan pada orang yang kritis, tanyakan pada orang yang patriotis, tanyakan pada orang yang religius, tanyakan pula pada orang-orang lainnya. Jawabannya cuma satu, aku pun juga tidak tahu.

Malam itu langit bertabur tanda tanya, tentang ini dan itu. Hari esok yang harus kupikirkan. Butuh waktu satu semester bagiku untuk belajar tentangnya. Dia. Butuh waktu lebih lama untukku memahaminya. Tapi sayang, ketika aku mengenalnya, aku melupakannya kalau aku belum memahaminya.

“Siapa dia?” gumam hatiku.

Ku tanyakan pada pikir ini, hati ini, jiwa ini, rintihan ini, kesedihan ini, dan ini-itu lainnya. Jawabannya cuma satu, cukup aku yang tahu.

Lebih dari inspirasi, motivasi, dan apapun itu. Dia. Yang telah membangunkanku dari kelamnya malam, yang telah membangkitkanku dari kuburan senyuman, dan yang telah mangantarkanku pada sebuah kisah. Cinta.

Entah ini sebuah prolog atau epilog tentang kisah ini ditulis. Di sini … aku masih berdiri sendiri sembari memikirkan skenario yang akan ku mainkan. Menantikan sang sutradara memberikan aba-aba untukku memulainya. Ternyata ... aku hanya sebagai monolog yang berkisah dari sudut pandang orang ketiga.

Harap-cemas peran ini ku nantikan untuk berakhir, karena aku terlalu lelah untuk semua ini. Ketidakadilan yang harus ku pahami artinya lebih dari sekadar kata adil untuk orang lain. Ia ibarat angin yang terkadang menyejukkanku dengan gemulai tariannya, namun terkadang pula ia bertiup cukup kencang hingga buatku terkapar jatuh dalam ketidakberdayaan. Entahlah … aku tak tahu pasti apa yang akan terjadi, tapi sang penyair tahu pasti tentang apa yang akan terjadi.

Selalu kutanamkan cinta ini dalam waktuku. Aku tak ingin rasa ini sirna begitu saja terhempas kesunyian, karena bagiku ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan ini sebagai antiklimaks pertanda kisah ini akan berakhir, walaupun sebenarnya waktu ini hampir habis terkikis deru air mata.

Seuntai kata darinya cukup untuk menghangatkan jiwa ini dan menyenyakkan tidurku. Tersirat maupun tersurat. Terkadang aku lupa caranya tersenyum, namun dia mengajarkanku tentang cara tersenyum lewat senyumannya, meski terkadang pula seuntai kata darinya mampu menenggelamkanku dalam kepekatan. Kepekatan malam yang dengan paksanya mengusir pagiku dengan kesedihan. Karena aku memang tak tahu, apakah aku harus bersedih atau tersenyum?.

Kalau sudah begini, aku hanya bisa bergegas melapor kepada “Sang Penyair”, tentang perjalanan ini dititiskan kepadaku. Aku selalu berharap, berharap, dan berharap sang penyair merevisi skenarionya. Memberiku kesempatan untuk memainkan skenarionya bersamanya, namun bukan sebagai cerita melainkan realita.

Bukan tentang apa kisah ini ditulis, tapi untuk apa kisah ini tertulis.

“Percayakah?” renungku.

Akan butuh perjudian hati untuk menjawabnya. Percaya atau tidak percaya adalah jawaban yang objektif untuk menyikapinya. Mungkin terlalu muda bagiku untuk mengatakan “mudah”. Padahal aku hanya berharap,”mudah-mudahan semuanya mudah”.

Bukan pelarian, tapi aku hanya ingin berlari.

“Salahkah?” renungku.

Mungkin aku tidak tahu jawabannya, tapi sesungguhnya hanya ada satu alasan tepat untuk menjawab semua ini. Semua tentang kita. Semua tentang kita yang hanya sekadar cerita. Cerita cinta yang ku pasrahkan pada waktu untuk mengungkapnya. Dan dia memang benar, ”berlari sendirian itu melelahkan”. Mungkin inilah sebuah kebenaran yang paling benar.

Aku selalu mengingatnya, kata-kata yang menuntunku pada semua ini. Apa adanya. Bukan apa-apa atau pun ada-ada saja, tapi tentang kisah ini berawal ku tulis dan tertulis.

Andai semua ini bukan pengandaian. Takkan ada hari ini yang akan ku anggap sebuah kenangan, karena aku akan selalu bilang, “inilah kenyataan”. Dan semuanya akan terangkai dan terbingkai dengan manis dalam alurnya.

Mencintai cinta membutuhkan keyakinan untuk memulainya, karena ketika cinta telah mencintai cinta jangan pernah untuk mengali atau membaginya, seperti angka yang selau bimbang dengan akhirnya. Bahkan tukang foto pun seakan dibodohi dengan fiksi dengan menganggapnya kalau ini adalah sebuah kenyataan. Kenyataan tentang 3x4 = 700, 4x6 = 1000, dan kenyataan-kenyataan lainnya yang tak pernah ku terpikirkan kebenarannya. Entahlah, sulit tuk ku mengerti semua ini.

“Dan lagi, siapa yang salah?” bimbangku.

Dan aku hanya bisa menyalahkan keadaan yang sesungguhnya tak tahu apa-apa tentang sesuatu yang telah terjadi. Tentang kenyataan yang harusnya aku tahu bahwa inilah kebenaran. Kebenaran sejati yang tak pernah mengada-ada.

“Lalu apa yang harus ku lakukan selanjutnya?” tanyaku kembali pada hati yang bimbang.

Aku tahu atau aku hanya sok tahu. Mungkin ini cuma sebuah teoretis di atas karya tulis, atau filosofis? fanatis? pragmatis? atau realistis? tanyakan pada is …, is … lainnya. 

Walau aku tak pernah tahu apa yang dia mau. Yang ku tahu hanyalah, “Terkadang orang terlalu angkuh untuk mengakui cinta. Padahal yang harus disiapkan ketika kita jatuh cinta hanyalah satu. Menyiapkan hati untuk terluka”, mungkin dia tahu.

Hukuman Sang Guru

“Inilah hukuman untukmu yang tidak patuh terhadap tata tertib sekolah,” ujar sang guru kepada muridnya yang tertidur di kelas kala gurunya mengajar tersebut.

Seisi ruangan pun tak luput menertawakan Joko. Meskipun cubitan Pak Imam membuat lengan Joko memerah, namun ia hanya mampu bergeming dalam hati saja. Joko hanya bisa tertekur sembari menanggung malu dan jengkel.

“Anak-anak, satu hal yang perlu kalian pahami adalah bahwa disiplin adalah investasi antara harapan dan kesuksesan. Semua kesuksesan pasti berawal dari diri kalian sendiri. Yakinlah bahwa penderitaan karena disiplin lebih baik daripada penderitaan karena penyesalan,” tukas Pak Imam dengan bijak menasihati seisi ruang kelas.

            Mendengar nasihat gurunya tersebut, Joko seakan tertampar hingga akhirnya menaruh dendam kepada guru PPKN tersebut. Pasalnya, ia merasa dipermalukan oleh gurunya tersebut, meskipun kenyataannya, Pak Imam tak ayal hanya ingin melihat anak didiknya menjadi pribadi yang berkarakter.

***

“Ini berkas perkaranya, Pak,” ujar seorang petugas kejaksaan kepada hakim sedari memberikan sekumpulan berkas perkara.

Ketika sang hakim mempelajari berkas perkara tersebut, ia terkejut bukan kepalang. Bukan tanpa alasan, melainkan ia terpaku pada sebuah nama yang menjadi tergugat serta perkara yang menjerat si tergugat tersebut. Ya, ia seakan akrab betul pada figur yang menjadi tergugat dalam perkara yang akan ia adili tersebut. Ia mencoba meyakinkan diri untuk tidak percaya pada kenyataan, namun kenyataannya, semuanya memang bukannya khayalan. Inilah kenyataan yang nyata.

Joko yang kini sebagai seorang pengadil harus menerima kenyataan pahit mengadili gurunya sendiri. Tebersir impian balas dendam kepada Pak Imam, sang guru yang dulunya ia nantikan seakan memberinya kesempatan untuk melunasi dendam tersebut. Ia ingin mengajari gurunya arti disiplin yang sebenarnya kepada Pak Imam yang dulunya mengajarinya tentang disiplin.

Ya, Pak Imam tersandung kasus telah melakukan kekerasan kepada seorang murid dengan dalih menghukum muridnya. Ia dilaporkan wali muridnya sendiri yang merasa tidak terima atas perlakuan Pak Imam kepada anak penggugat lantaran anaknya dicubit karena tertidur di kelas. Perkara tersebut berlanjut hingga ke pengadilan. Bahkan, perkara tersebut mengundang perhatian media untuk mengangkatnya sebagai berita yang menarik perhatian publik.

***

“ … dengan ini menyatakan bahwa terdakwa bernama Imam Bukhari dinyatakan ….” ujar sang hakim sembari membacakan hasil putusan.

Semua orang tampak tertegun menanti putusan sang hakim, termasuk lembaga dan organisasi masyarakat terkait yang turut mendukung Pak Imam sebagai bentuk solidaritas terhadap profesi guru.

“ … bebas!” lanjut sang hakim meneruskan membacakan hasil putusan.

Sontak, Pak Imam pun seketika melangitkan syukur sembari menengadahkan tangannya dan melanjutkannya dengan bersujud sebagai bentuk syukur kepada Allah atas keadilan yang ditunjukkan kepadanya. Joko, sang hakim yang mengadili perkara tersebut tampak semringah dan senang terhadap putusan yang dibacakannya. Bukan karena dirinya yang dulunya mantan murid dari Pak Imam hingga akhirnya menuntunnya untuk membela Pak Imam, tetapi lebih dari itu karena bukti-bukti, saksi-saksi, dan dukungan-dukungan dari banyak pihak yang turut membuktikan bahwa keadilan sudah selayaknya tidak akan pernah memenggal kepala orang yang tidak bersalah.

Usai hasil vonis bebas dibacakan, Pak Imam beserta rombongan yang turut mendukungnya pun segera meninggalkan ruang meja hijau. Namun, ketika di luar pengadilan pun cerita balada mulai mengemuka. Joko, sang hakim, bergegas meninggalkan tempat duduknya di meja hijau sembari mengejar Pak Imam untuk menemuinya.

Assalamualaikum, guruku!” sapa Joko, sang hakim, dengan mencium tangan Pak Imam.

Pak Imam yang seorang guru SMA itu pun terkejut dengan tindakan sang hakim. Namun, belum usai Pak Imam berlarut-larut terhadap keterkejutannya tersebut, sang hakim mengatakan,

“Inilah hukuman yang ku berikan kepadamu, Guru,” terang Joko kepada Pak Imam.

Masih terpaku pada maksud sang hakim, sang hakim pun meneruskan perkataannya,

“Inilah hukuman untuk engkau yang selalu mengajarkan kedisiplinan kepada para murid,” tambahnya sembari tersenyum.

“Masih ingatkah dengan saya, Pak? Mungkin Bapak lupa, tetapi saya selalu ingat Bapak. Saya adalah korban didikan kedisiplinan Bapak. Saya mantan murid Bapak angkatan tujuh. Saya Joko, Pak. Murid IPS,” terang Joko kepada sang guru dengan penuh bangga.

“Masya Allah, saya ingat sekarang. Kamu yang dulu sering tertidur di kelas kan?” jawab sang guru dengan sedikit meledek sembari mencubit manja mantan muridnya tersebut.

“Aduh, sakit, Pak! Ampunnn!!!” canda Joko dengan penuh tawa.

Seketika suasana yang awalnya penuh ketegangan, seakan telah mencair. Media yang turut hanyut dalam suasana tersebut, seakan terenyuh mengetahui nostalgia dan keakraban keduanya sebagai mantan murid sekaligus hakim dengan sang guru sekaligus tergugat.

“Saya mengerti benar bahwa cubitan guruku tak ayal bukanlah sebuah kekerasan. Cubitan itu tidak menyebabkan sakit atau bahkan tidak melukai, melainkan sebuah bentuk kasih sayang yang bermakna pendidikan untuk murid-murid belajar tentang menjadi pribadi yang berkarakter melalui disiplin,” ungkap Joko kepada media dengan tegas.

“Kini, kalian telah melihatnya sendiri bahwa cubitan gurukulah yang mengantarkanku menjadi orang yang yang seperti kalian lihat sekarang ini,” imbuhnya dengan merangkul sang guru dengan penuh bangga.

Dengarlah

 

“Lihatlah kenyataan, tidak ada sesuatu yang berjalan sesuai rencana di dunia ini, begitu pun rencanamu. Kamu telah lama hidup dan kini kamu menyadari bahwa yang ada hanya kefanaan yang abadi. Ke mana pun kamu melihat dunia ini, kamu akan paham bahwa di mana ada bayangan ditemukan, di situ pasti akan selalu ada cahay,” ujar sang guru kepada Andre.

Andre pun tak kuasa menahan air matanya sembari menundukkan pandangannya ke meja kayu tersebut.

“Jangan menangis anakku, aku di sini datang untuk membawa kabar gembira untukmu,” seru sang guru dengan memotivasi siswanya yang dikenal pembangkang tersebut.

“Iya, Pak,” gumam Andre dengan berat menahan isak tangisnya.

“Kamu dinyatakan lulus oleh sekolah, anakku, meskipun kenyataannya kamu bergelut dengan kesalahan yang menghukummu di tempat berbeda. Sekolah tidak ingin menambah beban hukumanmu lebih dari ini, melainkan sekolah ingin melihatmu lulus dengan memahami sesuatu, terlebih apa yang dapat kamu pelajari dari hadiah yang sekolah berikan ini,” tegas sang guru sembari menebar senyum ke Andre.

Andre pun berusaha menutupi rasa malunya kepada sang guru, meskipun sebenarnya dia merasa sedikit bahagia dengan kabar yang disampaikan gurunya tersebut. Setidaknya, dia merasa bahwa dia masih memiliki masa depan, meskipun bayang-bayang masa lalu dan masa kini ini menggelapkan ambang pintu masa depannya.

***

“Jika kalian berduaan di tempat yang sepi, maka orang ketiganya pastilah setan,” tegas Pak Arif ketika menjelaskan materi zina kepada siswa-siswi.

“Sebuah hadist mengungkapkan bahwa, 'Aku tidak meninggalkan satu fitnah pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita',” imbuh lelaki berkopyah tersebut dalam menjelaskan dalil penjelasan materinya.

“Bapak kayak tidak pernah muda saja, Pak. Bapak pasti juga pernah berpacaran dulunya,” bantah dan ejek Andre kepada guru agamanya tersebut.

Pak Arif pun sontak tersentak hatinya hingga tak ada lagi yang dapat ia lakukan selain mengelus dada dan mengucapkan istighfar. Pak Arif pun tak ingin terpancing dengan ucapan Andre yang notabene memang dikenal sebagai anak pembangkang di kelasnya tersebut.

***

Awalnya, Andre dan Sinta pun mengobrol berdua di ruang tamu. Rumah Sinta memang sepi karena ibunya sedang ke luar kota untuk hendak berkunjung ke rumah kerabatnya. Tidak ada tetangga Sinta yang curiga ketika Andre bertamu ke rumah Sinta. Mereka pun berduaan, saling bercanda dan saling membahas soal cinta. Keduanya tampak saling bertatapan, saling bertatapan layaknya singa yang akan menerkam mangsanya, hingga akhirnya keduanya tersesat dalam bujuk khayal cinta sejati yang terlarang yang menjerumuskan keduanya.

            Perbuatan keduanya pun tepergok, setelah ibu Sinta kembali ke rumah untuk mengambil barang yang tertinggal. Si ibu pun menemukan putrinya sekamar dengan pacarnya dengan kondisi putrinya terlihat menangis. Sial bagi Andre, ketika ibu Sinta memergokinya, Sinta pun seketika berdrama menangis dan mengaku bahwa ia telah dipaksa dan diancam oleh Andre untuk memenuhi permintaannya. Melihat putrinya diperlakukan yang tak layak tersebut, akhirnya si ibu berteriak memanggil tetangga sekitar untuk meminta pertolongan. Ya, Andre pun seketika dihakimi warga dan dianggap telah memperkosa Sinta. Andre pun digelandang di kantor polisi dan ia pun dijatuhi hukuman penjara.

***

“Bersyukurlah anakku, Allah telah menyelamatkanmu sekarang ini hingga akhirnya menempatkanmu di penjara ini,” ujar si guru sembari tersenyum tipis.

“Maksud, Bapak?” jawab Andre dengan heran kepada gurunya tersebut.

 “Kamu boleh tidak mengakuinya, anakku. Sesungguhnya Allah telah menyelamatkanmu dengan menempatkanmu di tempat ini agar kamu terhindar dari perbuatan-perbuatan keji lainnya yang justru nantinya kelak dapat memenjarakanmu di nerakanya Allah,” tutur Pak Arif dengan bijak.

“Iya, Pak. Saya tidak akan membantah lagi apa yang dulu pernah saya lakukan ke Bapak,” ungkap Andre dengan merenung sembari menundukkan kepalanya.

“Pesan Bapak ke kamu, Andre, yakinlah bahwa beban yang kamu pikul sekarang ini telah menjadi sebab keselamatanmu. Allah telah menyiapkan skenario terbaik untuk perjalanan hidupmu kelak. Pelajari masa lalu jika kamu ingin menentukan masa depan. Masa lalu memberi kita pengalaman dan membuat kita lebih bijaksana sehingga dapat menciptakan masa depan yang indah dan cerah karena sesungguhnya seseorang dapat mengubah masa depannya hanya dengan mengubah sikapnya. Semoga Allah senantiasa mengiringi setiap langkahmu, Andre,” ujar Pak Arif sembari memegang pundak Andre.