Tuhan
mengajari kita tentang memaknai hidup lewat sebuah anugerah; mata. Tuhan tahu
persis apa yang telah menjadi ciptaan-Nya karena Tuhan memang Mahatahu semuanya. Ia adalah sang Pencipta dan setiap ciptaan-Nya selalu menyimpan alasan
yang patut kita pahaminya maknanya.
Entah,
apa jadinya jika kita tak dibekali sang Illahi untuk melihat. Kegelapan akan
jadi pemandangan akrab yang selalu kita pandangi dalam-dalam dengan penuh ratapan. Kita hanya bisa merengek, lalu menangis dalam hitamnya kegelapan sembari memohon kepada
sang Illahi untuk menunjukkan kilaunya dunia. Banyak pertunjukkan “sang seniman” beserta karya-karya-Nya yang akan kita lewatkan pamerannya jika kita
tak memaknai hidup ini lebih dari sekadar melihat. Warna-warni pelangi,
senyuman senja di sore hari, lukisan-lukisan realisme,
dan semua hal tentang apa yang bisa kita pahami di dunia
ini lewat mata. Semua itu hanya akan menjadi bagian cerita yang penuh ratapan
dan kita
hanya akan menjadi pendengar yang selalu dirundung penasaran sembari memohon
seseorang menceritakan apa yang bisa dia ceritakan kepada orang lain.
Mata.
Lewat melihat kita hidup dan kita bisa memaknai hidup ini. Tuhan sangat adil
untuk membekali kita untuk melihat dengan mata. Sepasang mata yang mengantarkan kita
pada satu pandangan tentang bagaimana kita melihat dengan benar. Kebenaran
melihat dua kali lebih benar daripada sekali melihat kebenaran. Tuhan mengajari
kita tentang hidup. Tentang bagaimana kita harus hidup dan tentang apa itu
kehidupan. Sudahkah kita paham akan hal itu? Lebih tepat lagi, mungkin kita
hanya main-main saja dengan kehidupan ini.
Anugerah
terbesar selama ini adalah mata. Mata mengajarkan kita tentang hidup. Bersyukur
atas izin-Nya, kita
telah melihat dunia. Karya agung Tuhan tiada tara. Meskipun, tak lebih untuk melihat Tuhan, tetapi Tuhan telah adil memberikan kesempatan untuk kita melihat
anugerah-Nya. Semua tentang hidup ini ku mulai dari mata. Aku mengenal diriku
lewat mata. Aku tahu siapa diriku karena mata. Mata yang memperkenalkan wajahku
kepada diriku, terlebih kepada mata-mata lainnya. Aku mengenal anugerah dari
mata. Aku mengenal syukur dari mata dan aku mengenal terminologi “mensyukuri anugerah cinta”
juga berawal dari mata.
Kisah
cintaku ku mulai dari mata. Sekian lama melangkah, aku baru sadar bahwa hidupku
terpenjara karena aku buta. Buta akan kehidupan yang tak pernah ku pahami
indahnya dengan melihat. Aku lupa dan aku terlupa bahwa Sang Esa selalu punya alasan untuk menunjukkan
kebesaran-Nya. Kebesaran illahi yang ku kenal lewat mata. Cinta.
Aku
mengenalnya lewat mata. Mata itu mengundangku
bersua dengan sebuah rasa yang tak pernah ku kenal namanya. Aku terkesima kepadanya karena mata
dan aku pun jatuh cinta kepadanya berawal dari mata. Mata
yang menuntunku pada satu keindahan. “Indahnya ciptaan-Mu, wahai Tuhan,”
tuturku dalam hati.
Ku
mulai mencintainya lewat sebuah perkenalan. Berlanjut pada kenyamanan di
antara kita dalam beradu pandangan. Aku pun mulai
menemukan ketentraman itu. Ketentraman hidup di matanya yang tak pernah jenuh ku pandangi dengan mataku. Aku
mencintainya dan aku menyayanginya.
Tuhan telah menunjukkan keagungan-Nya kepadaku lewat mata. Keagungan yang selalu ku syukuri
bahwa bahwa sang Illahi memang adil. Keadilan yang memperkenalkanku kepada
cinta lewat sepasang mata. Dengan mata, Tuhan mempelihatkanku tentang indahnya jatuh cinta dan dengan
mata pula, Tuhan akhirnya juga memperlihatkanku
tentang kenyataan pahitnya cinta yang harus ku syukuri adanya.
Terkadang
apa yang kita lihat justru itu bisa membutakan kita. Hal itulah yang harus ku pahami artinya lebih dari sekadar
pernyataan filosofis belaka. Dengan mata, ku tanamkan sejuta harapan kepadanya.
Namun, harapan itu justru hanya menghadiahkanku dengan sebuah ratapan. Ratapan
cinta yang ku pahami maknanya juga dengan mata. Aku melihatnya dengan mata
anugerah sang Illahi ini bahwa dia telah memiliki mata lain yang jauh membuatnya
bahagia. Mata yang mengantarkannya pada senyuman yang indah di wajahnya, jauh
lebih indah dari senyuman yang ku buat dengan mataku ini memandang matanya. Ku
temukan cinta ini dengan mata dan harus ku akhiri pula cinta ini dengan mata.
Air mata.
Mata ini adalah anugerah Yang Kuasa dan seharusnya aku bersyukur dengan apa yang ku lihat dengan mata. Terkadang mata adalah cara terbaik untuk percaya atau mungkin saja bisa sebaliknya; mata adalah cara terburuk untuk memahami kenyataan. Entahlah ... Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk melihat umatnya. Melihat kenyataan dan impian dengan bersyukur, bukan dengan mata. Apapun kenyataannya, inilah anugerah sang Illahi yang harus kita syukuri. Rasa syukur yang ku mulai lewat mata, sepasang mata. Sepasang mata yang melihat dua kali lebih benar daripada sekali melihat kebenaran.
