“Assalamualaikum!” sapa dengan lantang remaja berambut kribo dan berpenampilan nyentrik itu menghampiri
Pak Bagus.
Pak
Bagus pun sontak terkejut mendengar sapaan tersebut.
“Waalaikum salam!” jawab Pak Bagus dengan
linglung.
Remaja
nyentrik itu pun seketika menarik tangan kanan Pak Bagus kemudian menciumnya.
“Masih
ingat saya kah, Pak?” tanya remaja berbadan kurus tersebut kepada lelaki empat
puluh tahun itu.
“Siapa,
ya?” balas Pak Bagus sembari mengingat-ingat.
“Saya
Viky, Pak. Murid Bapak dulu,” celetuk remaja dua puluh satu tahun tersebut
dengan tersenyum.
“Viky,
ya?” ucap Pak Bagus sembari mencoba mengingat.
“Hey, ayo … cium tangan dulu. Ini guruku,” perintah remaja kribo itu kepada remaja lainnya yang ikut bersamanya.
Satu per satu, para remaja dengan penampilan aneh itu bergantian mencium tangan Pak Bagus sembari menundukkan kepala dan mengumbar senyuman kepada beliau. Pak Bagus masih terpaku dengan ingatannya terhadap sosok aneh yang ada di hadapannya itu.
“Saya
Viky, Pak. Murid Bapak yang sering terlambat, sering corat-coret bangku, dan
selalu membuat Bapak lelah bermain
kejar-kejaran ketika waktunya salat,” ujar remaja tersebut dengan bangga dan gayanya
yang guyonan itu.
***
Setiap
pagi pukul 06.15, Pak Bagus sudah berdiri tegap di gerbang sekolah sembari
menyambut siswa-siswi yang datang. Satu per satu siswa berdatangan, menyapa,
lalu mencium tangan Pak Bagus. Ya, Pak Bagus adalah seorang wakil kepala
sekolah bidang kesiswaan. Maklum, beliau adalah orang yang paling disiplin.
Bahkan, beliau tak pernah sekalipun datang terlambat ke sekolah dan selalu
berdiri di gerbang sekolah setiap pagi.
Kriiinggg … kriiinggg … kriiinggg
….
Mendengar
bel sekolah berbunyi, siswa-siswi pun bergegas berlarian untuk segera masuk ke
sekolah. Namun seperti biasanya, Viky selalu terperangkap dalam keterlambatan
yang sebenarnya hal itu telah menjadi rutinitas dari kebiasaannya setiap hari.
“Selalu
terlambat, terlambat, dan terlambat. Adakah alasan lain yang bisa kamu
ceritakan kepada saya, Viky, selain alasan kesiangan?” tanya Pak Bagus dengan tegas
dan sedikit kesal.
Kesiangan
adalah cerita lama yang selalu menjadi bahan cerita Viky kepada Pak Bagus
mengenai alasan keterlambatannya tersebut. Alasan yang tak pernah bisa dipahami
kebenarannya. Kebenaran tentang kesalahan berulang yang akrab dengan ciri khas
Viky.
“Silakan
dibuka Al-qurannya, lalu dihafalkan surat Al-A’la,” perintah Pak Bagus dengan
tegas.
***
“Untuk
materi hari ini, kita akan belajar membuat mural. Tapi, kita tidak akan
membuatnya di dinding, melainkan di buku gambar. Silakan dikeluarkan buku
gambarnya!” perintah Pak Bagus kepada siswa-siswi.
Ketika
Pak Bagus sibuk mengecek satu per satu bawaan peralatan gambar siswa-siswi,
tanpa sengaja Pak Bagus memergoki Viky yang sedang asyik corat-coret bangkunya
menggunakan stipo. Pak Bagus pun marah melihat tabiat Viky yang tidak
bertanggung jawab tersebut. Beliau pun sangat marah, bahkan sampai-sampai Viky
pun diusir olehnya dan disuruh mengerjakan tugasnya di luar.
Sembilan
puluh menit kemudian,
“Karena
waktunya telah habis, maka untuk semua hasil menggambar, silakan dikumpulkan,” ujar Pak Bagus dengan tegas.
Pak
Bagus pun meninggalkan kelas dengan membopong peralatan gambarnya dengan
ditemani seorang siswa yang membawakan bertumpuk buku gambar hasil menggambar
siswa-siswi lainnya itu.
“Sudah
selesai? Sini … dikumpulkan! Saya minta kamu hapus gambar yang kamu corat-coret
di bangku tadi. Saya cek besok, apabila belum terhapus, silakan kamu tidak usah
mengikuti pelajaran saya berikutnya,” ujar Pak Bagus dengan nada kesal.
***
“Waktunya
salat Dhuhur untuk seluruh siswa-siswi!” bunyi pengeras suara sekolah petanda waktu
salat.
Seperti
biasanya, Pak Bagus pun berkeliling ke setiap kelas untuk mengarahkan
siswa-siswa yang masih ada di dalam kelas agar segera menuju ke masjid untuk
menunaikan salat Dhuhur berjamaah. Setiap ruang kelas pun disisiri dan
dipelototinya lekat-lakat barangkali ada siswa yang bersembunyi atau tidur di
bawah bangku. Maklum, anak-anak terkadang sering tidur di kelas dan tak jarang
mereka bersembunyi di bawah bangku untuk menghindari sidak para guru.
Setiap
sudut ruang kelas pun disisiri Pak Bagus dengan telaten. Belakang pintu kelas
dan di bawah bangku, terutama bagian belakang ruang kelas juga tak luput dari
perhatian Pak Bagus. Ketika Pak Bagus memeriksa ruang kelas dua belas animasi,
tak diduga tiba-tiba beliau terkejut bukan kepalang karena di belakangnya ada
seorang siswa yang berlari dari belakang pintu kelas itu. Mengetahui hal tersebut,
Pak Bagus pun berusaha mengejarnya. Namun sayang, seribu langkah yang digunakan
Pak Bagus tak sanggup mengalahkan sejuta langkah siswa nakal tersebut. Meski
demikian, Pak Bagus pun cukup mengenali siswa tersebut meski tak lebih dari
sekadar punggung saja yang dilihatnya tadi.
***
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri (QS Ar-Rad: 11),” ujar Pak Bagus dalam kultumnya setelah salat Dhuhur.
“Untuk
itu anak-anakku, jikalau kalian ingin menjadi pribadi yang sukses kelak, maka ubahlah
diri kalian terlebih dahulu. Perubahan awal itu bisa kalian mulai dari membuang
kebiasaan buruk yang ada. Datang terlambat, tidak belajar dengan
sungguh-sungguh, bahkan perihal salat yang seringkali menunggu perintah dari
guru untuk mau melaksanakannya. Ingatlah, kalian adalah penentu kesuksesan diri
kalian sendiri,” ungkap Pak Bagus dalam akhir kultumnya dengan berbahan
sindiran kepada siswa yang dikejarnya tersebut.
***
“Ooo, Viky toh. Alhamdulillah, saya baru ingat. Muridku yang paling bikin saya gemes ini,” ingat Pak Bagus setelah
cukup lama tertegun dengan linglungnya.
“Haha … bener, Pak. Alhamdulillah, kalau Bapak ingat,” jawab Viky dengan tertawa dan
gaya yang guyonan tersebut.
“Bapak
apa kabarnya? Sedang apa, Pak, di sini?” tanya Viky dengan bahasa santai tetapi
santun.
“Alhamdulillah, saya sehat. Saya sedang
jalan-jalan saja sama keluarga,” jawab Pak Bagus dengan penuh wibawa dan
sedikit bahagia bisa bertemu muridnya yang selalu dikenangnya itu.
“Kamu
sendiri sedang apa di sini?” lanjut tanya Pak Bagus dengan penasaran.
“Ini,
Pak, saya bersama teman-teman komunitas mural kebetulan sedang ada kegiatan di sini,” ujar Viky dengan tersenyum.
“Alhamdulillah, komunitas mural ini adalah rintisan saya sendiri, Pak. Saya membentuk komunitas ini dengan harapan bisa berbagi ilmu kepada teman-teman yang ingin belajar mural. Walaupun saya bukan guru dan tidak sehebat Bapak, setidaknya saya berusaha menjadi guru seperti yang telah guruku ajarkan kepadaku,” puji Viky kepada Pak Bagus dengan rendah hati.
“Alhamdulillah, saya tidak menyangka
kalau sekarang kamu sudah sukses. Hebat, kamu, Vik. Saya perhatikan juga,
sepertinya kamu telah banyak berubah juga,” puji Pak Bagus dengan bangga.
“Setidaknya
sekarang, saya tidak seperti dululah, Pak. Hehe
… Semua ini berkat Bapak juga yang sudah mengajari saya banyak hal walaupun
terkadang saya sering bikin Bapak jengkel dengan tingkah saya dulu. Iya kan,
Pak. Haha ….” celetuk Viky dengan apa
adanya tanpa meninggalkan gaya khasnya yang guyonan tersebut.
“Bisa
saja kamu ini, Vik. Alhamdulillah
kalau gitu,” jawab Pak Bagus dengan penuh semringah dan bangga.
“Ya sudah kalau gitu, Pak, saya permisi dulu mau cari mushola untuk salat. Sudah waktunya salat dhuhur juga. Permisi, Pak. Assalamualaikum!” pamit Viky kepada gurunya itu sembari mencium tangan Pak Bagus dengan diikuti oleh teman-temannya pula.


