Langkahnya
tertatih menyambut pagi yang datang lebih cepat mengusir malam. Malam yang
selalu dirindukan Aziz tuk tak pernah berakhir memahami diri yang bimbang. Memahami
diri lebih dari sekadar kata paham itu sendiri. Memahami hari yang berhujankan rintik
harapan akan bayang kegagalan. Kegagalan bernama harapan yang tak pernah diinginkan.
Aziz benar-benar berharap bahwa hari ini adalah hari terakhirnya. Hari tentang hidup dalam kematian impian. Hari pertama hidup dalam kuburan impian. Baginya, hari ini adalah awal dari akhir hidupnya yang tak pernah diimpikan hadirnya.
“Abdul Aziz?” panggil Pak Rahman selaku Kepala Program
Multimedia ketika mengisi materi acara kegiatan MOS tersebut.
Aziz pun menjawab dengan mengangkat tangan sembari sedikit
agak lesu.
“Apa yang membuat kamu tertarik memilih jurusan ini,
Nak?” tanya Pak Rahman dengan penasaran.
“Karena orang tua saya merasa yakin dengan pilihannya,
Pak,” jawab Aziz dengan menyembunyikan ratapannya.
Mendengar
ironi tersebut, sontak Pak Rahman pun tersenyum tipis sembari menyembunyikan rasa
kagetnya tersebut. Beliau pun melanjutkan mengabsensi siswa-siswa lainnya satu
per satu untuk memperkenalkan diri dan memaparkan alasan para siswa memilih jurusan tersebut.
Ya,
Aziz benar-benar frustrasi dengan impian ini. Impian yang tak pernah diinginkannya.
Impian yang menjadi impian orang tuanya. Bukan impiannya. Impian yang
menghancurkan impiannya.
Hari
ini adalah hari pertamanya masuk ke SMK. Aziz merasa bak terbelenggu dalam jerumus
penjara jurusan ini. Jurusan yang tak diimpikannya. Tapi, menjadi impian
terbesar orang tuanya untuk dapat meneruskan kesuksesannya.
Bukan rahasia lagi, kalau ayahnya adalah kreator yang andal. Kepala tim kreatif di stasiun televisi swasta ternama menjadi bukti bahwa ia menginginkan kesuksesan yang sama juga terwujud pada Aziz.
***
“Hari ini kita akan belajar tentang etimologi
multimedia. Ada yang tahu, apa itu etimologi multimedia?” tanya Pak Burhan
kepada siswa-siswi.
Tak
seorang pun bisa menjawab pertanyaan itu. Beliau pun dengan telatennya
mengajari siswa-siswi baru tersebut. Tetapi, Aziz hanya termenung memperhatikan tanpa memahami apa yang diajarkan Pak
Burhan tersebut.
Bel
istirahat pun berbunyi. Dengan sigapnya, semua siswa berbondong-bondong keluar
kelas untuk menuju kantin. Tapi, seperti kebiasaan sejak SD, Aziz tak pernah
pergi ke kantin kala waktu jam istirahat. Ia selalu
menyibukkan diri dengan menggambar dan menonton film anime kesukaannya, yaitu, Naruto. Bahkan, saking cintanya dengan
menggambar, hampir semua buku tugas belajarnya pun terkesan ramah dengan
coretan gambar-gambar anime maupun kartun tersebut. Tapi, Aziz terlalu hafal
menyikapi nasihat dari bapak/ibu guru mengenai mencoret-coret buku tersebut.
Waktu melangkah begitu cepat. Tak terasa, jam telah berlari ke arah pukul setengah puluh dan waktu pun menyuratkan bahwa jam istirahat telah berakhir. Kini, waktunya pelajaran Pemrograman Web. Namun, seperti biasanya, Aziz selalu lupa caranya untuk bersemangat. Wajah kusut bak tanpa harapan tersebut seakan menjadi pemandangan akrab bagi teman-teman Aziz menilainya. Sembari menunggu Pak Arif untuk mengajar, Aziz pun bersendekap sembari tiduran di bangku.
“Assalamualaikum,” sapa beberapa siswa tak dikenal yang masuk ke kelasku.
Suara bising itu
menggugah lamunanku dalam sendekapku. Ternyata, beberapa kakak kelas yang
datang untuk memberikan pengumuman. Melihat itu, Aziz pun apatis dengan mereka
dan kembali melanjutkan lamunan dan tidurnya.
“Maaf, mengganggu sebentar ya, Adik-adik. Perkenalkan,
nama saya adalah Wahid, dari kelas XII Multimedia 1. Di sini, saya
menginformasikan bahwa sekolah mewajibkan untuk setiap siswa mengikuti minimal
satu ekstrakurikuler. Adapun ekstrakurikuler yang saya koordinir adalah
ekstrakurikuler animasi. Saya di sini sebagai mentor dari ekstrakurikuler
animasi ....” ungkap Wahid, mentor ekstrakurikuler animasi tersebut.
Mendengar
pengumuman itu, sontak Aziz pun tergugah dari tidurnya dan secepat kilat
menyimak pengumuman tersebut. Ia terlihat begitu serius menyimak pengumuman
tersebut, sampai-sampai keningnya mengernyit tanpa kelihatan secentimeter pun raut
dahi aslinya.
Senyum harapan terlukis indah di wajah Aziz menyambut pengumuman tersebut. Ekspresinya merandau tanpa kesan yang jelas. Sontak, ia pun segera mendaftarkan diri ke Wahid untuk mengikuti ekstrakurikuler tersebut.
***
Bisa
dibilang, bagai peribahasa tidak ada rotan, akar pun jadi. Aziz bisa dikatakan bernasib
baik. Pasalnya, ia bisa naik kelas dengan nilai yang terbilang pas-pasan. Hampir semua
mata pelajaran, ia mendapatkan nilai yang tak lebih dari delapan puluh. Orang
tuanya pun sempat geram dan marah kepada Aziz ketika melihat hasil rapor Aziz.
Luapan kekecewaan orang tua Aziz pun seakan meluap karena aziz dianggap tidak
mampu menjawab harapan orang tuanya tersebut. Menjadi seorang kreator di dunia pertelevisian. Harapan mereka pun seakan pupus melihat
hasil rapor Aziz. Padahal, orang tua Aziz mempunyai ambisi untuk menyekolahkan
Aziz di SMK dan menyiapkannya untuk melanjutkan ke universitas penyiaran.
Aziz
pun terkulai di atas ranjangnya sembari menatap langit-langit atap kamarnya
yang membisu tanpa kata. Pikirannya merandau tak karuan melihat sikap orang
tuanya tersebut. Hanya kesunyian dan ketenangan malam yang mampu memahaminya
lebih dari sekadar kata paham itu sendiri. Meski demikian, hal tersebut tak
menyurutkan niatnya untuk berhenti belajar animasi.
***
Pagi ini, Aziz datang ke
sekolah seperti biasanya pukul 06.15. Seperti gaya biasanya, Aziz datang dengan
gaya klemar-klemer. Menaiki tangga
dengan lunglai seakan tak ada gairah hidup. Ia menapaki satu per satu anak
tangga dengan lesu. Namun, ketika ia sampai di ujung tangga. Seketika matanya
tertuju pada satu sudut tempat. Sebuah papan pengumuman yang letaknya tepat di
depan ujung tangga tempat para guru biasanya menanti kedatangan siswa untuk
menegur sapa ketika siswa hendak masuk kelas. Rasa lunglai dan lesu itu seakan
pecah ketika pandangannya terarah pada selembar kertas yang menempel di papan
tersebut. Segerombolan kata yang tertulis dalam sebuah pengumuman yang
berisikan informasi lomba animasi yang diadakan oleh sebuah universitas elite di Surabaya. Melihat itu, gairah hidup Aziz pun
seakan mengangkasa. Ia benar-benar bersemangat menyambut pengumuman tersebut.
Meski demikian, langkahnya tentu tak mudah karena ia harus melewati tahap
seleksi terlebih dahulu.
“Berdasarkan hasil karya kalian, saya memutuskan akan
memberangkatkan satu siswa untuk mengikuti lomba ini,” ujar Pak Eko selaku
pembina ekstrakurikuler animasi tersebut.
Jantung Aziz pun berdegup dengan cepat mengalahi kecepatan
mobil ferrari.
“Yang akan berangkat ....” ucap Pak Eko dengan penuh
keyakinan.
Semua siswa peserta ekstrakulikulier pun harap-cemas menanti
nama-nama yang akan keluar dari mulut Pak Eko.
“Wahid,” Seru Pak Eko.
Seketika itu pun harapan Aziz
rontok. Harapan yang tadinya mengangkasa kini jatuh terjun bebas tanpa arah.
“Wahid ... kamu akan mengikuti lomba Hi-Fest di universitas itu. Untuk Aziz,
selamat kamu terpilih dari 25 siswa se-Indonesia yang akan mengikuti Diklat animasi
selama seminggu di Bali,” lanjut Pak Eko dengan bangga.
“Kemarin, saya mendaftarkan kalian (Wahid dan Aziz), tetapi
yang terpilih kamu, Aziz. Semoga kalian berdua bisa membanggakan sekolah ini,” tutur Pak Eko dengan penuh harapan.
Mereka pun menyambut
pengumuman tersebut dengan gempita sembari memeluk Pak Eko dan mengucapkan kata
terima kasih atas bimbingan yang telah diberikan selama ini.
Tak ada yang lebih indah
bagi Aziz dari kemenangan tersebut. Kemenangan yang mengantarkannya pada sebuah
dilematis antara dia harus berbahagia atau justru harus bersedih. Aziz
benar-benar terlupa caranya untuk memaknai semua itu. Impiannya memang
tercapai, tapi tidak untuk impian orang tuanya. Tak ada yang bisa dilakukan Aziz
selain mengatakan bahwa dia telah berhasil mencapai impian orang tuanya,
walaupun itu adalah impiannya. Keberhasilan mencapai impian palsu orang tuanya.
Ia pun berangkat ke Bali dengan berbekal kebohongan atas kemenangannya di
multimedia tersebut.
***
“Alhamdulillah, Pak Eko, saya mendapatkan banyak ilmu
di sana. Terima kasih ya, Pak,” ujar Aziz sembari mencium tangan Pak Eko.
“Iya ... semoga ilmu yang kamu dapatkan bermanfaat ya,
Ziz,” balas Pak Eko dengan bangga.
Setelah
mengikuti Diklat animasi selama seminggu di Bali, Aziz pun mendapat tawaran
dari production house untuk turut
serta dalam pembuatan film animasi. Meskipun, ia hanya dipercaya hanya
menggarap satu episode saja, tetapi setidaknya bagi Aziz itu adalah langkah awal yang baik.
***
Sepandai-pandai tupai
melompat pasti akan jatuh. Peribahasa tersebut mungkin cukup pas melukiskan
nasib Aziz. Kebenaran selalu menemukan jalannya sendiri meskipun kita berusaha
menyesatkannya. Jalan sesat bernama ketidakjujuran. Ketidakjujuran yang membawa
Aziz pada sebuah kenyataan. Kenyataan tentang kebenaran menyembunyikan
kebenaran.
“Alhamdulillah ... rating acara kartun kita naik
terus, Pak Abdul,” puji seorang anggota tim kreatif kepada ayah Aziz tersebut.
“Alhamdulillah ... semua ini berkat kerja keras tim
kreatif kita, Pak Teguh,” balas Pak Abdul kepada anak buahnya.
“Saya benar-benar tidak percaya bahwa masyarakat
memiliki animo dan tanggapan positif yang kuat terhadap film kartun,” tambah
Pak Abdul dengan menyembunyikan keheranannya.
“Kita harus segera meneken kontrak dengan prduction house film kartun tersebut,
Pak, sebelum nanti didahului oleh televisi lainnya,” ujar Pak Teguh dengan
meyakinkan Pak Abdul.
“Anda benar, Pak. Ini bisa memberi keuntungan besar
bagi perusahaan kita,” ungkap Pak Abdul dengan optimisme yang membuncah.
Kontrak kerja sama pun terjalin antara kedua belah pihak,
yakni, stasiun televisi TV Oke
tersebut dengan Production House of Dreamer
Cartoon. Keduanya bersepakat untuk bekerja sama dalam penanyangan kartun
produksi dari Dreamer Cartoon tersebut.
“Film kartun yang luar biasa. Saya begitu mengapresiasi
tinggi film produksi, Bapak,” seru Pak Abdul
kepada perwakilan Production House of
Dreamer Cartoon tersebut.
“Saya cukup bangga dengan tim saya yang berhasil
membuat kartun ini, Pak. Apalagi tim saya rata-rata masih belia semua. Bahkan,
ada pula yang masih berstatus pelajar SMK. Jadi bisa dibilang, mereka memang
kreatif karena masih muda-muda,” tutur perwakilan Production House of Dreamer
Cartoon tersebut.
“Oh ya ... wah ... luar biasa sekali Anda, Pak,
dalam menemukan bakat-bakat hebat dan memilih remaja-remaja dan pemuda-pemuda
kreatif tersebut. Anda memang luar biasa, Pak,” puji Pak Abdul kepada
perwakilan Production House of Dreamer Cartoon tersebut.
Bagai gayung bersambut, kebenaran pun berbicara.
Ketika Pak Abdul menonton kartun tersebut hingga usai, pandangannya pun sempat
terpecah dengan sebuah tulisan pada credit
title pada film kartun tersebut. Tulisan berejakan sebuah nama. Nama yang
akrab dengan ingatannya. Bahkan, ia terasa sangat dekat sekali dengan nama
tersebut.
“Abdul Aziz Al-Nahrawi? Sepertinya, nama itu sangat
akrab dengan saya. Siapa ya Pak orang tersebut?” pikiran Pak Abdul pun
berkalungkan sejuta tanda tanya dan berhujankan penasaran.
“Oh, Aziz. Ia adalah salah satu kreator/pembuat
skenario film ini, Pak. Ia adalah anak SMK yang saya ceritakan tadi. Kalau
tidak salah, ia sekolah di SMK Muhammadiyah 2 Surabaya,” jawab Pak Teguh dengan
bangga.
“Kalau tidak salah, ia tinggal di Margorejo. Ia memang anak yang cerdas dan kreatif. Saya bangga memiliki tim kreatif seperti ia,” tambah Pak Teguh.
Semua rasa penasaran tersebut pun seakan terjawab dengan jelas dan tegas tanpa meninggalkan keraguan. Kebenaran mencari arti sebuah pembenaran. Kebenaran yang biasa disebut dengan awal dari kesalahan tersebut. Pak Abdul mengakui bahwa ia terlalu setia dengan kesalahannya. Kesalahan atas kesetiaan pada keangkuhan yang beridentitaskan egoisme tersebut. Ia terlalu memaksakan keinginannya. Keinginan yang bukan keinginan anaknya tersebut. Kini, Pak Abdul menyadari satu hal pasti tentang kebenaran bahwa anaknya tersebut telah menunjukkan sebuah kebenaran dan telah membuktikan sebuah perjuangan pembenaran. Kebenaran dan pembenaran yang ia sebut sebagai impiannya. Animasi.

