Tak Mudah

Tak mudah bagiku untuk memahaminya lebih dari sekadar kata “Mudah. Butuh waktu lebih dari satu tahun untukku memaknai kata itu. Kata yang tak pernah ku pahami artinya lebih dari makna leksikalnya, “Gampang. Gampang … ya, cukup gampang bukan untuk mengatakannya, bahkan arti kata itu sebenarnya juga tidak sulit untuk dipahami. Ini tak terlalu sulit untuk diungkapkan, hanya saja ini begitu sulit bagiku untuk memahami sesuatu yang ku pikirkan; tentang arti terminologi itu; Tak mudah.

Aku mengenalnya, saat aku masih hidup dalam keangkuhan idealisme. Idealisme yang selalu ku agungkan dan sedikit memungkiri anugerah Tuhan yang seharusnya ku akui kebenarannya. Kebenaran tentang dirinya sebagai kiriman Tuhan yang dialamatkan untuk menegur keangkuhan idealismeku. Tapi, kini dia adalah bagian dari masa laluku yang kini aku hidup di bagian masa depan. Bukan masa depannya, melainkan hanya masa laluku. Ia selalu menemani setiap langkah angkuhku yang dulunya tak pernah ku pahami artinya. Arti terminologi, “Sendiri penuh arti. Aku benar-benar mengabadikannya dalam benakku.

Mudah … entah, apa yang membuatku merasa bodoh memahami arti kata itu. Tentang air mata yang tak beralasan, tentang kesedihan yang tak sepantasnya, dan semua hal yang tak jelas yang tak dapat ku jelaskan. Semuanya terasa begitu sulit bagiku tuk memaknai kata “Mudah” tersebut.

Banyak alasan mengapa aku begitu memuja kata “Mudah. Mulai dari sebuah etimologi, lalu sebuah antroponimi, kemudian sebuah ontologi, hingga sebuah filosofi yang ku berharap memahami indahnya kata itu lebih dari makna leksikalnya. Kata yang menggetarkan hatiku dari hampanya kemerdekaan kesendirian, menyalakan jiwaku yang terang dalam kesunyiaan, dan tentang alasan yang mengantarkanku pada nur ketenteraman hidup yang ku sebut “Cahaya Kemudahan. Ya, aku berharap dialah cahaya ketentraman di rimba hidupku.

“Apa ini, Fik?” tanya Siti dengan penasaran.

“Ini adalah janjiku,” jawab Fiki dengan tersenyum tipis.

“Janji? janji apa yang kau maksud?” balas Siti dengan heran.

“Tentang janji yang memang tak pernah kuucapkan padamu. Tapi, semua ini adalah tentang janjiku padamu, Sit,” balas Fiki dengan penuh harapan.

Hujan tanda tanya pun kian membanjiri pikiran dan perasaan Siti. Tak ada senyuman terima kasih yang terukir indah di wajahnya. Malahan, ia memaknai semua ini bahkan tak lebih dari sekadar nonsens belaka.

“Aku tak tahu alasan semua ini, Fik, tapi aku berharap kau punya alasan pasti kelak memberitahuku tentang alasanmu,” jawab Siti dengan raut muka datar.

Siti pun meninggalkan Fiki tanpa epilog yang membahagiakan. Dialog mereka berdua seakan menyiratkan kesan percakapan yang tak bermakna apapun. Ya, sikap Siti yang dingin kepada Fiki seakan mempertegas perasaan Siti yang tak ayal hanya menganggapnya tak lebih dari sekadar teman biasa saja.

“Kau tidak akan tahu untuk saat ini, Sit. Tetapi, kau akan segera tahu,” gumam Fiki dalam hati dengan memendam kekecewaannya.

Keangkuhan Siti pun seakan tergoyahkan dengan rasa penasaran yang membuncah di pikirannya. Pikirannya pun berkalungkan berjuta tanda tanya. Mencari arti segerombolan kata yang terucap lewat bibir Fiki tadi. Ia pun memandangi lekat-lekat sebuah kotak kecil dengan bungkus yang sederhana tersebut, hasil pemberian Fiki siang tadi. Siti pun membuka kado tersebut dengan perlahan.

Keningnya mengernyit seketika saat ia membuka hadiah pemberian Fiki tersebut. Sebuah flashdisk terbungkus rapi dalam kertas kado yang dikemas dalam kotak kecil yang sederhana tersebut. Rasa penasaran itu kian deras menghujani pikiran dan hati Siti. Lantas, ia pun membuka laptopnya untuk mencari tahu isi flashdisk tersebut. Ketika hendak dicobanya untuk membuka isi flashdisk tersebut, tak tahu mengapa tak ada apapun di dalam flashdisk tersebut.

***

Pagi datang begitu cepat mengusir malam bimbangku. Meski demikian, sekapan kebimbangan yang mengekang itu seakan enggan melepaskan bayangannya dalam pikiranku. Aku pun berusaha melangkah pasti di pagi bimbangku ini. Meskipun, saat ini pikiranku tengah dihujani ketidakpastian. Ketidakpastian tanggapan tentang sebuah pernyataan. Harap cemas aku menantikan jawaban atas sebuah pernyataan yang aku tanyakan lewat sebuah video dokumenter tersebut.

“Hei ... Sit,” sapa Fiki dengan lembut.

“Apa lagi yang kau inginkan dariku, Fik?” balas Siti dengan angkuh.

“Apa kau sudah membukanya?” tanya Fiki dengan penasaran.

“Aku bahkan tak mengerti maksudmu tentang semua ini. Aku tak habis pikir, apa yang kau pikirkan, Fik? Aku bahkan tak mengharapkan ini darimu,” ujar Siti dengan tegas.

Lagi. Kenyataan pun menertawakanku dengan eleginya. Elegi tentang sebuah harapan yang selalu menyimpulkan sebuah ratapan. Bahkan, Aku tak dapat memetik amanat dari semua ini. Keangkuhannya, kini telah mengalahkan keangkuhanku. Keangkuhan yang selalu ku agungkan bahwa aku adalah yang terbaik di antara yang terburuk. Entah, terkadang aku cukup bodoh untuk membedakan antara kesetiaan dan kebodohan itu sendiri. Aku benar-benar tak sanggup melarikan diri dari bayang absurd ini.

***

Aku kini telah hidup dalam dunia yang pasti. Kepastian hidup beridentitaskan realisme. Keangkuhan yang dulunya kupuja, kini seakan terkikis termakan usia. Aku telah hidup dalam kepastian hidup ini selama lima tahun. Tak ada idealisme atau pun romantisme. Aku seperti lupa dan seakan terlupa tentang bagaimana caranya mencintai. Mencintai elegi yang dulunya selalu akrab menemaniku. Namun, semua itu kini hanya menjadi kenangan yang tak lagi kuharapkan di kenyataan yang penuh harapan ini.

Aku kini hidup dalam keberhasilan impian. Sebuah impian yang terwujud dari sejarah kekecewaan. Impian bernamakan pragmatis dan realistis tersebut, kini menjadi bagian dari hidupku yang pasti ini. Kepastian kesuksesan yang jauh dari kesan melankolis maupun cerita romantis.

“Maaf mengganggu, Pak. Ada pelamar yang mengajukan diri untuk bekerja di sini menggantikan editor kita yang resain kemarin. Saya perhatikan profilnya cukup bagus juga, Pak,” ujar seorang kepala personalia kepada CEO TVMU.

“Oke ... suruh masuk!” jawab Fiki dengan tegas.

Seketika luka lama itu pun menganga kembali ketika ku tatap kekecewaan yang menjadi bagian dari masa laluku itu kini hadir di hadapanku.

“Fiki? ....” sapa Siti dengan kaget.

“Aku tak menyangka kamu kini telah sukses, Fik,” sambung Siti dengan senang.

“Semua ini berkat dirimu, Sit. Kau telah mengajarkanku tentang bagaimana memaknai kekecewaan. Terlebih, mengajariku tentang bagaimana aku harus berpikir pragmatis dan realistis. Terima kasih, Sit,” balas Fiki dengan raut muka datar.

Mendengar jawaban Fiki yang sinisme tersebut, Siti pun terkejut. Ia tak menyangka, Fiki yang dulunya lembut dan lugu kini telah menjadi seorang yang tegas dan keras.

“Silakan, Anda mulai presentasinya!” perintah Fiki kepada Siti.

Siti pun memulai presentasi dengan perasaan merandau tak karuan. Ia bahkan tak sanggup fokus saat presentasi.

“Cukup!” Potong Fiki ketika Siti belum menyelesaikan presentasinya.

“Oke ... mulai besok, Anda bisa mulai bekerja,” lanjut Fiki sembari meninggalkan Siti tanpa komentar apa pun. 

Entah, apa yang ada di benak Fiki. Jika menilik kenyataannya, bisa dibilang presentasi Siti cukup buruk, bahkan tak layak untuk diterima. Namun, Fiki pun menanggapinya berbeda. Ia justru menerima Siti untuk menjadi pegawainya.

***

“Hasil editing yang kemarin mana?” tanya seorang programmer kepada Siti.

“Ini, Pak.” jawab Siti sembari memberikan flashdisknya.

“Mana? Bahkan, tak ada apa pun di flashdisk ini,” balas programmer tersebut dengan marah ketika membuka flashdisk Siti.

“Tadi, saya sudah meng-copy-nya di dalam flashdisk tersebut, Pak,” elak Siti dari amukan programmer tersebut.

“Pokoknya saya gak mau tahu, satu jam lagi saya minta video tersebut sudah siap!” amuk programmer tersebut kepada Siti.

Pikiran Siti pun berkalutkan kebingungan tanpa arah. Ia seperti orang yang lupa caranya untuk berpikir cepat seperti biasanya. Ia benar-benar bingung, apa yang harus dilakukannya. Pasalnya, laptopnya juga sedang dipinjam adiknya untuk mengerjakan skripsi. Bahkan, untuk pulang mengambilnya, waktu satu jam rasanya juga tak mungkin sempat.

“Ada apa, Mbak?” tanya seorang pegawai lainnya kepada Siti.

“Entahlah ... aku bingung, apa yang harus ku lakukan untuk mencari videoku yang hilang,” ucap Siti dengan tergopoh.

“Emang hilang di mana file-nya, Mbak?” tanya kembali si pegawai tersebut.

“Di flashdisk.” Jawab Siti dengan kebingungan.

Ooo ... Sini, saya coba bantu, Mbak. Bisa saya recovery kok. Insya Allah, file yang hilang tersebut bisa kembali,” jelas si pegawai dengan yakin.

Tak lebih dari tiga puluh menit, hasil recovery data pun muncul. Beberapa data yang hilang sebelumnya, muncul kembali. Namun, dari sekian banyak file yang berhasil di-recovery, hanya ada dua file dengan jenis file video dan salah satu video tersebut membuat Siti terheran karena ia merasa tak pernah menyimpan file video sebelumnya. Rasa penasaran Siti kian mengguyang deras pikiran Siti. Siti pun akhirnya memutuskan untuk melihat isi video tersebut.


Aku tak menginginkan apapun darimu lebih dari sekadar kau cukup tahu kalau aku menyangimu, Sit. Aku hanya ingin mengungkapkan tanpa menginginkan jawabannya. Karena aku tahu, aku sudah mendapatkan jawabannya. Kelak aku akan meninggalkanmu karena waktu. Tapi kau takkan meninggalkan suatu tempat yang ku sebut hatiku. Tak seharusnya aku memimpikanmu, tapi memimpikan impianmu adalah mimpiku. Jujur, aku merasa selalu gagal menciptakan senyuman bagimu, tapi aku selalu berusaha menghancurkan kesedihanmu meskipun aku selalu gagal jua. Aku salah telah mengaku telah memahamimu, padahal kenyataannya, aku gagal memahami diriku sendiri. Satu hal pasti yang selalu ku tanamkan dalam benak ini adalah tentang keyakinan yang akan mengantarkanmu pada sebuah pengertian, kalau aku menyayangimu, Sit. Aku tahu kalau aku hanyalah bagian dari cerita yang tak pernah kau harapkan, tapi yang harus kau ketahui adalah kaulah ceritaku, Sit. Cerita indah yang selalu menjadi cerita cintaku. Hal lain yang sulit tuk ku pahami adalah aku tersadar bahwa aku bukanlah bagian dari cerita cintamu, tapi aku akan membuat cerita cinta terindah tentang dirimu.

 

Video dokumenter tersebut benar-benar menggetarkan hati Siti. Satu hal yang Siti sesali, yakni, ia sadar bahwa ia tak pernah menghargai Fiki selama ini. Namun, nasi telah menjadi bubur. Kini, Fiki telah hidup di masa depan bersama harapan yang ia impikan. Impian bersama kesuksesannya dan yang pasti bersama orang yang dicintainya, tentunya orang itu juga mencintainya. Orang itu tentunya bukanlah Siti. 

Narasi Malam

Malam selalu mencoba menghadirkan ketakutan akan bayang berimajinasi. Begitu pun malam ini. Langit malam ini seakan mengusir lelapku segera beranjak memejamkan mata. Malam ini rasa jenuh benar-benar menyanderaku. Ketika semua orang terlelap dalam gelap, justru aku harus bertarung dengan pikirku. Pengap  dan pekat seakan menghujaniku ketika aku terlentang lesu dan terlamun sembari melongo menatapi plavon-plavon yang terbisu dalam kesunyian malam di pertapaan aku mengukir mimpi. Kipas angin di ruangan ini bahkan mengeluh ketaksanggupannya mengusir keadikuasaan pengap dan pekat yang menghujani tubuh ini.  Ditambah lagi dengan TV, HP, radio, yang seakan terlihat bodoh dan tidak tahu caranya untuk  bisa menghiburku. Mereka benar-benar membosankan untuk sebuah status sebagai sang penghibur. Padahal, aku berharap merekalah penghiburku, pengusir rasa jenuhku. Namun kenyataannya, mereka gagal untuk membuktikan dirinya sebagai sang penghibur sejati. Aura malam ini pun semakin memantapkan temaku dengan bayang malam yang syarat akan rasa jenuh.  Menjemukan. Entah apa yang harus ku lakukan malam ini.

Riuh keramaian sekejap mengangkat letihku dari sunyinya malam ini. Aku coba menghampiri keramaian itu lewat sebuah pintu. Sebuah pintu yang mengantarkanku pada dunia luar ketika aku membukanya. Aku pun keluar. Sontak jiwa ini terperangah ketika aku menyapa keramaian itu. Keramaian alam yang dengan gembiranya merayakan pesta dan menggusur sunyinya malam dan momok akan kesan halusinasi. Begitu ramai dan begitu damai.

Munuver angin yang dengan lincahnya menerobos bulu-bulu kulitku seakan mengusir pengap dan pekat yang tadinya menghujaniku di pertapaanku. Belum lagi, iring-iring siulan angin pula yang turut mengiringi pepohanan untuk ikut menari meramaikan malam. Kerlap-kerlip bintang pun turut hadir pula menghiasi pesta ini dengan keanggunan kilaunya. Bertambah lengkap dengan kehadiran bulan yang mampu mengisi kegelapan malam ini menjadi lebih hidup dengan pelitanya. Sungguh, aku tak ingin mengakhiri malam ini dengan cepat. Tapi, masih ada yang kurang dengan malam ini. Jika sebuah pesta telah lengkap dengan pernak-perniknya … namun tiada makanan sebagai sesajian, rasanya mungkin jenuh itu akan mengusikku kembali. Bukan lagi tentang pikirku, tapi tentang perutku. Tapi … di mana para pelayan? Mengapa mereka tak kunjung menyajikan hidangan? Sontak mata ini berkeliling menatapi luasnya hamparan langit malam sembari menoleh ke tiap sudut mata ini memandang tuk mencari para pelayan. Dan … para pelayan pun dengan gerobaknya akhirnya datang juga menawarkan hidangannya. Ada tahu tek, tahu campur, sate, dan nasi goreng yang saling berlomba berebut perhatianku untuk menyajikan hidangannya. Aku pun menjatuhkan hati pada nasi goreng sebagai santapanku. Selain aku menyukai kuliner tersebut, aku juga membutuhkan asupan yang lebih untuk bisa menikmati malam ini agar rasa jenuh dan lesu itu tak cepat menjemputku pulang. Aku benar-benar menikmati malam ini. Malam tentang merasakan perbedaan dengan malam-malam lainnya yang indah dengan keramaian alam dan tak ada rasa jenuh yang menggangguku. Bahkan, pikir ini seakan tak kenal lagi dengan yang namanya sumpek yang biasanya menyelimuti pikirku lewat suatu malam. Malam indah itu adalah malam ini.

 Malam ini benar-benar mengajarkanku tentang arti kata ketenangan, kebebasan, dan semua tentang hal indah yang tak pernah ku pahami sebelumnya hanya lewat satu malam saja. Itu adalah malam ini. Sekapan pikir yang tadinya selalu mengekang bagaimana seharusnya aku berpikir untuk suatu hal yang positif, seakan kini telah membebaskanku dari pekiknya penjara kehidupan yang penuh tuntutan untuk menyidang setiap permasalahan yang ada. Angin, pepohonan, bintang, bulan, dan nasi goreng adalah teman yang mampu mengubah duniaku lewat satu malam saja. Satu malam tentang berdiri menikmati keramaian di tengah kesunyian malam. Mereka benar-benar tahu caranya bagaimana menghiburku dan bagaimana seharusnya aku menghibur diriku sendiri. Ya, malam ini adalah suatu malam mengenai aku menemukan langkah pikirku tentang perihal filosofi malam pada suatu malam yang berbeda dari malam-malam lainnya. Bagiku, momen ini sudah lebih dari cukup untuk mengatakan, Aku bahagia dengan narasiku ini.

Mata

Tuhan mengajari kita tentang memaknai hidup lewat sebuah anugerah; mata. Tuhan tahu persis apa yang telah menjadi ciptaan-Nya karena Tuhan memang Mahatahu semuanya. Ia adalah sang Pencipta dan setiap ciptaan-Nya selalu menyimpan alasan yang patut kita pahaminya maknanya.

Entah, apa jadinya jika kita tak dibekali sang Illahi untuk melihat. Kegelapan akan jadi pemandangan akrab yang selalu kita pandangi dalam-dalam dengan penuh ratapan. Kita hanya bisa merengek, lalu menangis dalam hitamnya kegelapan sembari memohon kepada sang Illahi untuk menunjukkan kilaunya dunia. Banyak pertunjukkan “sang seniman” beserta karya-karya-Nya yang akan kita lewatkan pamerannya jika kita tak memaknai hidup ini lebih dari sekadar melihat. Warna-warni pelangi, senyuman senja di sore hari, lukisan-lukisan realisme, dan semua hal tentang apa yang bisa kita pahami di dunia ini lewat mata. Semua itu hanya akan menjadi bagian cerita yang penuh ratapan dan kita hanya akan menjadi pendengar yang selalu dirundung penasaran sembari memohon seseorang menceritakan apa yang bisa dia ceritakan kepada orang lain.

Mata. Lewat melihat kita hidup dan kita bisa memaknai hidup ini. Tuhan sangat adil untuk membekali kita untuk melihat dengan mata. Sepasang mata yang mengantarkan kita pada satu pandangan tentang bagaimana kita melihat dengan benar. Kebenaran melihat dua kali lebih benar daripada sekali melihat kebenaran. Tuhan mengajari kita tentang hidup. Tentang bagaimana kita harus hidup dan tentang apa itu kehidupan. Sudahkah kita paham akan hal itu? Lebih tepat lagi, mungkin kita hanya main-main saja dengan kehidupan ini.

Anugerah terbesar selama ini adalah mata. Mata mengajarkan kita tentang hidup. Bersyukur atas izin-Nya, kita telah melihat dunia. Karya agung Tuhan tiada tara. Meskipun, tak lebih untuk melihat Tuhan, tetapi Tuhan telah adil memberikan kesempatan untuk kita melihat anugerah-Nya. Semua tentang hidup ini ku mulai dari mata. Aku mengenal diriku lewat mata. Aku tahu siapa diriku karena mata. Mata yang memperkenalkan wajahku kepada diriku, terlebih kepada mata-mata lainnya. Aku mengenal anugerah dari mata. Aku mengenal syukur dari mata dan aku mengenal terminologi “mensyukuri anugerah cinta” juga berawal dari mata.

Kisah cintaku ku mulai dari mata. Sekian lama melangkah, aku baru sadar bahwa hidupku terpenjara karena aku buta. Buta akan kehidupan yang tak pernah ku pahami indahnya dengan melihat. Aku lupa dan aku terlupa bahwa Sang Esa selalu punya alasan untuk menunjukkan kebesaran-Nya. Kebesaran illahi yang ku kenal lewat mata. Cinta.

Aku mengenalnya lewat mata. Mata itu mengundangku bersua dengan sebuah rasa yang tak pernah ku kenal namanya. Aku terkesima kepadanya karena mata dan aku pun jatuh cinta kepadanya berawal dari mata. Mata yang menuntunku pada satu keindahan. Indahnya ciptaan-Mu, wahai Tuhan,” tuturku dalam hati.

Ku mulai mencintainya lewat sebuah perkenalan. Berlanjut pada kenyamanan di antara kita dalam beradu pandangan. Aku pun mulai menemukan ketentraman itu. Ketentraman hidup di matanya yang tak pernah jenuh ku pandangi dengan mataku. Aku mencintainya dan aku menyayanginya.

Tuhan telah menunjukkan keagungan-Nya kepadaku lewat mata. Keagungan yang selalu ku syukuri bahwa bahwa sang Illahi memang adil. Keadilan yang memperkenalkanku kepada cinta lewat sepasang mata. Dengan mata, Tuhan mempelihatkanku tentang indahnya jatuh cinta dan dengan mata pula, Tuhan akhirnya juga memperlihatkanku tentang kenyataan pahitnya cinta yang harus ku syukuri adanya.

Terkadang apa yang kita lihat justru itu bisa membutakan kita. Hal itulah yang harus ku pahami artinya lebih dari sekadar pernyataan filosofis belaka. Dengan mata, ku tanamkan sejuta harapan kepadanya. Namun, harapan itu justru hanya menghadiahkanku dengan sebuah ratapan. Ratapan cinta yang ku pahami maknanya juga dengan mata. Aku melihatnya dengan mata anugerah sang Illahi ini bahwa dia telah memiliki mata lain yang jauh membuatnya bahagia. Mata yang mengantarkannya pada senyuman yang indah di wajahnya, jauh lebih indah dari senyuman yang ku buat dengan mataku ini memandang matanya. Ku temukan cinta ini dengan mata dan harus ku akhiri pula cinta ini dengan mata. Air mata.

Mata ini adalah anugerah Yang Kuasa dan seharusnya aku bersyukur dengan apa yang ku lihat dengan mata. Terkadang mata adalah cara terbaik untuk percaya atau mungkin saja bisa sebaliknya; mata adalah cara terburuk untuk memahami kenyataan. Entahlah ... Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk melihat umatnya. Melihat kenyataan dan impian dengan bersyukur, bukan dengan mata. Apapun kenyataannya, inilah anugerah sang Illahi yang harus kita syukuri. Rasa syukur yang ku mulai lewat mata, sepasang mata. Sepasang mata yang melihat dua kali lebih benar daripada sekali melihat kebenaran.

Pesan Pak Bagus

Assalamualaikum!” sapa dengan lantang remaja berambut kribo dan berpenampilan nyentrik itu menghampiri Pak Bagus.

Pak Bagus pun sontak terkejut mendengar sapaan tersebut.

Waalaikum salam!” jawab Pak Bagus dengan linglung.

Remaja nyentrik itu pun seketika menarik tangan kanan Pak Bagus kemudian menciumnya.

“Masih ingat saya kah, Pak?” tanya remaja berbadan kurus tersebut kepada lelaki empat puluh tahun itu.

“Siapa, ya?” balas Pak Bagus sembari mengingat-ingat.

“Saya Viky, Pak. Murid Bapak dulu,” celetuk remaja dua puluh satu tahun tersebut dengan tersenyum.

“Viky, ya?” ucap Pak Bagus sembari mencoba mengingat.

Hey, ayo … cium tangan dulu. Ini guruku,” perintah remaja kribo itu kepada remaja lainnya yang ikut bersamanya.

        Satu per satu, para remaja dengan penampilan aneh itu bergantian mencium tangan Pak Bagus sembari menundukkan kepala dan mengumbar senyuman kepada beliau. Pak Bagus masih terpaku dengan ingatannya terhadap sosok aneh yang ada di hadapannya itu. 

“Saya Viky, Pak. Murid Bapak yang sering terlambat, sering corat-coret bangku, dan selalu membuat Bapak lelah bermain kejar-kejaran ketika waktunya salat,” ujar remaja tersebut dengan bangga dan gayanya yang guyonan itu.

***

        Setiap pagi pukul 06.15, Pak Bagus sudah berdiri tegap di gerbang sekolah sembari menyambut siswa-siswi yang datang. Satu per satu siswa berdatangan, menyapa, lalu mencium tangan Pak Bagus. Ya, Pak Bagus adalah seorang wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Maklum, beliau adalah orang yang paling disiplin. Bahkan, beliau tak pernah sekalipun datang terlambat ke sekolah dan selalu berdiri di gerbang sekolah setiap pagi.

Kriiinggg … kriiinggg … kriiinggg ….

        Mendengar bel sekolah berbunyi, siswa-siswi pun bergegas berlarian untuk segera masuk ke sekolah. Namun seperti biasanya, Viky selalu terperangkap dalam keterlambatan yang sebenarnya hal itu telah menjadi rutinitas dari kebiasaannya setiap hari.

“Selalu terlambat, terlambat, dan terlambat. Adakah alasan lain yang bisa kamu ceritakan kepada saya, Viky, selain alasan kesiangan?” tanya Pak Bagus dengan tegas dan sedikit kesal.

        Kesiangan adalah cerita lama yang selalu menjadi bahan cerita Viky kepada Pak Bagus mengenai alasan keterlambatannya tersebut. Alasan yang tak pernah bisa dipahami kebenarannya. Kebenaran tentang kesalahan berulang yang akrab dengan ciri khas Viky.

“Silakan dibuka Al-qurannya, lalu dihafalkan surat Al-A’la,” perintah Pak Bagus dengan tegas.

***

“Untuk materi hari ini, kita akan belajar membuat mural. Tapi, kita tidak akan membuatnya di dinding, melainkan di buku gambar. Silakan dikeluarkan buku gambarnya!” perintah Pak Bagus kepada siswa-siswi.

        Ketika Pak Bagus sibuk mengecek satu per satu bawaan peralatan gambar siswa-siswi, tanpa sengaja Pak Bagus memergoki Viky yang sedang asyik corat-coret bangkunya menggunakan stipo. Pak Bagus pun marah melihat tabiat Viky yang tidak bertanggung jawab tersebut. Beliau pun sangat marah, bahkan sampai-sampai Viky pun diusir olehnya dan disuruh mengerjakan tugasnya di luar.

Sembilan puluh menit kemudian,

“Karena waktunya telah habis, maka untuk semua hasil menggambar, silakan dikumpulkan,” ujar Pak Bagus dengan tegas.

        Pak Bagus pun meninggalkan kelas dengan membopong peralatan gambarnya dengan ditemani seorang siswa yang membawakan bertumpuk buku gambar hasil menggambar siswa-siswi lainnya itu.

“Sudah selesai? Sini … dikumpulkan! Saya minta kamu hapus gambar yang kamu corat-coret di bangku tadi. Saya cek besok, apabila belum terhapus, silakan kamu tidak usah mengikuti pelajaran saya berikutnya,” ujar Pak Bagus dengan nada kesal. 

***

“Waktunya salat Dhuhur untuk seluruh siswa-siswi!” bunyi pengeras suara sekolah petanda waktu salat.

        Seperti biasanya, Pak Bagus pun berkeliling ke setiap kelas untuk mengarahkan siswa-siswa yang masih ada di dalam kelas agar segera menuju ke masjid untuk menunaikan salat Dhuhur berjamaah. Setiap ruang kelas pun disisiri dan dipelototinya lekat-lakat barangkali ada siswa yang bersembunyi atau tidur di bawah bangku. Maklum, anak-anak terkadang sering tidur di kelas dan tak jarang mereka bersembunyi di bawah bangku untuk menghindari sidak para guru.

        Setiap sudut ruang kelas pun disisiri Pak Bagus dengan telaten. Belakang pintu kelas dan di bawah bangku, terutama bagian belakang ruang kelas juga tak luput dari perhatian Pak Bagus. Ketika Pak Bagus memeriksa ruang kelas dua belas animasi, tak diduga tiba-tiba beliau terkejut bukan kepalang karena di belakangnya ada seorang siswa yang berlari dari belakang pintu kelas itu. Mengetahui hal tersebut, Pak Bagus pun berusaha mengejarnya. Namun sayang, seribu langkah yang digunakan Pak Bagus tak sanggup mengalahkan sejuta langkah siswa nakal tersebut. Meski demikian, Pak Bagus pun cukup mengenali siswa tersebut meski tak lebih dari sekadar punggung saja yang dilihatnya tadi.  

***

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri (QS Ar-Rad: 11), ujar Pak Bagus dalam kultumnya setelah salat Dhuhur.

“Untuk itu anak-anakku, jikalau kalian ingin menjadi pribadi yang sukses kelak, maka ubahlah diri kalian terlebih dahulu. Perubahan awal itu bisa kalian mulai dari membuang kebiasaan buruk yang ada. Datang terlambat, tidak belajar dengan sungguh-sungguh, bahkan perihal salat yang seringkali menunggu perintah dari guru untuk mau melaksanakannya. Ingatlah, kalian adalah penentu kesuksesan diri kalian sendiri,” ungkap Pak Bagus dalam akhir kultumnya dengan berbahan sindiran kepada siswa yang dikejarnya tersebut. 

***

Ooo, Viky toh. Alhamdulillah, saya baru ingat. Muridku yang paling bikin saya gemes ini,” ingat Pak Bagus setelah cukup lama tertegun dengan linglungnya.

Haha … bener, Pak. Alhamdulillah, kalau Bapak ingat,” jawab Viky dengan tertawa dan gaya yang guyonan tersebut.

“Bapak apa kabarnya? Sedang apa, Pak, di sini?” tanya Viky dengan bahasa santai tetapi santun.

Alhamdulillah, saya sehat. Saya sedang jalan-jalan saja sama keluarga,” jawab Pak Bagus dengan penuh wibawa dan sedikit bahagia bisa bertemu muridnya yang selalu dikenangnya itu.

“Kamu sendiri sedang apa di sini?” lanjut tanya Pak Bagus dengan penasaran.

“Ini, Pak, saya bersama teman-teman komunitas mural kebetulan sedang ada kegiatan di sini,” ujar Viky dengan tersenyum.

Alhamdulillah, komunitas mural ini adalah rintisan saya sendiri, Pak. Saya membentuk komunitas ini dengan harapan bisa berbagi ilmu kepada teman-teman yang ingin belajar mural. Walaupun saya bukan guru dan tidak sehebat Bapak, setidaknya saya berusaha menjadi guru seperti yang telah guruku ajarkan kepadaku, puji Viky kepada Pak Bagus dengan rendah hati.

Alhamdulillah, saya tidak menyangka kalau sekarang kamu sudah sukses. Hebat, kamu, Vik. Saya perhatikan juga, sepertinya kamu telah banyak berubah juga,” puji Pak Bagus dengan bangga.

“Setidaknya sekarang, saya tidak seperti dululah, Pak. Hehe … Semua ini berkat Bapak juga yang sudah mengajari saya banyak hal walaupun terkadang saya sering bikin Bapak jengkel dengan tingkah saya dulu. Iya kan, Pak. Haha ….” celetuk Viky dengan apa adanya tanpa meninggalkan gaya khasnya yang guyonan tersebut.

“Bisa saja kamu ini, Vik. Alhamdulillah kalau gitu,” jawab Pak Bagus dengan penuh semringah dan bangga.

“Ya sudah kalau gitu, Pak, saya permisi dulu mau cari mushola untuk salat. Sudah waktunya salat dhuhur juga. Permisi, Pak. Assalamualaikum!” pamit Viky kepada gurunya itu sembari mencium tangan Pak Bagus dengan diikuti oleh teman-temannya pula.