Tak mudah bagiku untuk memahaminya lebih dari sekadar kata “Mudah”. Butuh waktu lebih dari satu tahun untukku memaknai kata itu. Kata yang tak pernah ku pahami artinya lebih dari makna leksikalnya, “Gampang”. Gampang … ya, cukup gampang bukan untuk mengatakannya, bahkan arti kata itu sebenarnya juga tidak sulit untuk dipahami. Ini tak terlalu sulit untuk diungkapkan, hanya saja ini begitu sulit bagiku untuk memahami sesuatu yang ku pikirkan; tentang arti terminologi itu; Tak mudah.
Aku mengenalnya, saat aku masih hidup dalam keangkuhan idealisme. Idealisme yang selalu ku agungkan dan sedikit memungkiri anugerah Tuhan yang seharusnya ku akui kebenarannya. Kebenaran tentang dirinya sebagai kiriman Tuhan yang dialamatkan untuk menegur keangkuhan idealismeku. Tapi, kini dia adalah bagian dari masa laluku yang kini aku hidup di bagian masa depan. Bukan masa depannya, melainkan hanya masa laluku. Ia selalu menemani setiap langkah angkuhku yang dulunya tak pernah ku pahami artinya. Arti terminologi, “Sendiri penuh arti”. Aku benar-benar mengabadikannya dalam benakku.
Mudah … entah, apa yang membuatku merasa bodoh
memahami arti kata itu. Tentang air mata yang tak beralasan, tentang kesedihan
yang tak sepantasnya, dan semua hal yang tak jelas yang tak dapat ku jelaskan. Semuanya terasa begitu sulit bagiku tuk memaknai kata “Mudah”
tersebut.
Banyak alasan mengapa aku
begitu memuja kata “Mudah”. Mulai dari sebuah etimologi, lalu sebuah antroponimi,
kemudian sebuah
ontologi, hingga sebuah filosofi yang ku berharap memahami indahnya
kata itu lebih dari makna
leksikalnya. Kata yang menggetarkan hatiku dari hampanya
kemerdekaan kesendirian, menyalakan jiwaku yang terang dalam kesunyiaan, dan tentang alasan yang mengantarkanku
pada nur ketenteraman hidup yang ku sebut “Cahaya Kemudahan”. Ya, aku berharap dialah cahaya ketentraman di rimba hidupku.
“Apa ini, Fik?” tanya Siti dengan penasaran.
“Ini adalah janjiku,” jawab Fiki dengan tersenyum tipis.
“Janji? janji apa yang
kau maksud?” balas Siti dengan
heran.
“Tentang janji yang memang tak pernah kuucapkan padamu. Tapi, semua ini adalah tentang janjiku padamu, Sit,” balas Fiki dengan penuh harapan.
Hujan
tanda tanya pun kian membanjiri pikiran dan perasaan Siti. Tak ada senyuman terima
kasih yang terukir indah di wajahnya. Malahan, ia memaknai semua ini bahkan tak
lebih dari sekadar nonsens belaka.
“Aku tak tahu alasan semua ini, Fik, tapi aku berharap kau punya alasan pasti kelak memberitahuku tentang alasanmu,” jawab Siti dengan raut muka datar.
Siti pun meninggalkan Fiki tanpa epilog yang membahagiakan. Dialog mereka
berdua seakan menyiratkan kesan percakapan yang tak bermakna apapun. Ya, sikap
Siti yang dingin kepada Fiki seakan mempertegas perasaan Siti yang tak ayal
hanya menganggapnya tak lebih dari sekadar teman biasa saja.
“Kau tidak akan tahu untuk saat ini, Sit. Tetapi, kau akan segera tahu,” gumam Fiki dalam hati dengan memendam kekecewaannya.
Keangkuhan
Siti pun seakan tergoyahkan dengan rasa penasaran yang membuncah di pikirannya.
Pikirannya pun berkalungkan berjuta tanda tanya.
Mencari arti segerombolan kata
yang terucap lewat bibir Fiki tadi. Ia
pun memandangi lekat-lekat
sebuah kotak kecil dengan bungkus yang sederhana
tersebut, hasil pemberian Fiki siang tadi. Siti pun membuka kado tersebut dengan perlahan.
Keningnya
mengernyit seketika saat ia
membuka hadiah pemberian Fiki
tersebut. Sebuah flashdisk
terbungkus rapi dalam kertas kado
yang dikemas dalam kotak kecil
yang sederhana
tersebut. Rasa penasaran itu
kian
deras menghujani pikiran dan hati Siti. Lantas, ia pun membuka laptopnya untuk mencari tahu isi flashdisk
tersebut. Ketika hendak dicobanya
untuk membuka isi flashdisk tersebut, tak tahu mengapa tak ada apapun di dalam flashdisk tersebut.
***
Pagi
datang begitu cepat mengusir malam bimbangku. Meski demikian, sekapan kebimbangan
yang mengekang itu seakan enggan
melepaskan bayangannya dalam pikiranku. Aku pun berusaha melangkah pasti di
pagi bimbangku ini. Meskipun, saat ini pikiranku tengah dihujani
ketidakpastian. Ketidakpastian tanggapan tentang sebuah pernyataan. Harap cemas
aku menantikan jawaban atas sebuah pernyataan yang aku tanyakan lewat sebuah
video dokumenter tersebut.
“Hei
... Sit,” sapa Fiki dengan lembut.
“Apa
lagi yang kau inginkan dariku, Fik?” balas Siti dengan angkuh.
“Apa
kau sudah membukanya?” tanya Fiki dengan penasaran.
“Aku bahkan tak mengerti maksudmu tentang semua ini. Aku tak habis pikir, apa yang kau pikirkan, Fik? Aku bahkan tak mengharapkan ini darimu,” ujar Siti dengan tegas.
Lagi. Kenyataan pun menertawakanku dengan eleginya. Elegi
tentang sebuah harapan yang selalu menyimpulkan sebuah ratapan. Bahkan, Aku tak
dapat memetik amanat dari semua ini. Keangkuhannya, kini telah mengalahkan
keangkuhanku. Keangkuhan yang selalu ku agungkan bahwa aku adalah yang terbaik
di antara yang terburuk. Entah, terkadang aku cukup bodoh untuk membedakan
antara kesetiaan dan kebodohan itu sendiri. Aku benar-benar tak sanggup melarikan
diri dari bayang absurd ini.
***
Aku
kini telah hidup dalam dunia yang pasti. Kepastian hidup beridentitaskan
realisme. Keangkuhan yang dulunya kupuja, kini seakan terkikis termakan usia. Aku
telah hidup dalam kepastian hidup ini selama lima tahun. Tak ada idealisme atau
pun romantisme. Aku seperti lupa dan seakan terlupa tentang bagaimana caranya
mencintai. Mencintai elegi yang dulunya selalu akrab menemaniku. Namun, semua
itu kini hanya menjadi kenangan yang tak lagi kuharapkan di kenyataan yang
penuh harapan ini.
Aku
kini hidup dalam keberhasilan impian. Sebuah impian yang terwujud dari sejarah
kekecewaan. Impian bernamakan pragmatis dan realistis tersebut, kini menjadi
bagian dari hidupku yang pasti ini. Kepastian kesuksesan yang jauh dari kesan
melankolis maupun cerita romantis.
“Maaf mengganggu,
Pak. Ada pelamar yang mengajukan diri untuk bekerja di sini menggantikan editor kita yang resain kemarin. Saya
perhatikan profilnya cukup bagus juga, Pak,” ujar seorang kepala personalia
kepada CEO TVMU.
“Oke ... suruh masuk!” jawab Fiki dengan tegas.
Seketika
luka lama itu pun menganga kembali ketika ku tatap kekecewaan yang menjadi
bagian dari masa laluku itu kini hadir di hadapanku.
“Fiki?
....” sapa Siti dengan kaget.
“Aku
tak menyangka kamu kini telah sukses, Fik,” sambung Siti dengan senang.
“Semua ini berkat dirimu, Sit. Kau telah mengajarkanku tentang bagaimana memaknai kekecewaan. Terlebih, mengajariku tentang bagaimana aku harus berpikir pragmatis dan realistis. Terima kasih, Sit,” balas Fiki dengan raut muka datar.
Mendengar
jawaban Fiki yang sinisme tersebut, Siti pun terkejut. Ia tak menyangka, Fiki
yang dulunya lembut dan lugu kini telah menjadi seorang yang tegas dan keras.
“Silakan,
Anda mulai presentasinya!” perintah Fiki kepada Siti.
Siti pun memulai presentasi dengan perasaan merandau tak karuan. Ia bahkan tak sanggup fokus saat presentasi.
“Cukup!” Potong Fiki ketika Siti belum menyelesaikan presentasinya.
“Oke ... mulai besok, Anda bisa mulai bekerja,” lanjut Fiki sembari meninggalkan Siti tanpa komentar apa pun.
Entah, apa yang ada di benak Fiki. Jika menilik kenyataannya,
bisa dibilang presentasi Siti cukup buruk, bahkan tak layak untuk diterima.
Namun, Fiki pun menanggapinya berbeda. Ia justru menerima Siti untuk menjadi
pegawainya.
***
“Hasil
editing yang kemarin mana?” tanya
seorang programmer kepada Siti.
“Ini, Pak.” jawab Siti sembari memberikan flashdisknya.
“Mana? Bahkan, tak ada apa pun di flashdisk ini,” balas
programmer tersebut dengan marah ketika membuka flashdisk Siti.
“Tadi, saya sudah meng-copy-nya di dalam flashdisk tersebut, Pak,” elak Siti dari amukan programmer tersebut.
“Pokoknya saya gak mau tahu, satu jam lagi saya minta video tersebut sudah siap!” amuk programmer tersebut kepada Siti.
Pikiran Siti pun berkalutkan kebingungan tanpa arah. Ia seperti orang yang
lupa caranya untuk berpikir cepat seperti biasanya. Ia benar-benar bingung, apa
yang harus dilakukannya. Pasalnya, laptopnya juga sedang dipinjam adiknya untuk
mengerjakan skripsi. Bahkan, untuk pulang mengambilnya, waktu satu jam rasanya juga
tak mungkin sempat.
“Ada apa, Mbak?” tanya seorang pegawai lainnya kepada
Siti.
“Entahlah ... aku bingung, apa yang harus ku lakukan
untuk mencari videoku yang hilang,” ucap Siti dengan tergopoh.
“Emang hilang di mana file-nya,
Mbak?” tanya kembali si pegawai tersebut.
“Di flashdisk.” Jawab Siti dengan kebingungan.
“Ooo ... Sini, saya coba bantu, Mbak. Bisa saya recovery kok. Insya Allah, file yang hilang tersebut bisa kembali,” jelas si pegawai dengan yakin.
Tak lebih dari tiga puluh menit, hasil recovery data pun muncul. Beberapa data yang hilang sebelumnya, muncul kembali. Namun, dari sekian banyak file yang berhasil di-recovery, hanya ada dua file dengan jenis file video dan salah satu video tersebut membuat Siti terheran karena ia merasa tak pernah menyimpan file video sebelumnya. Rasa penasaran Siti kian mengguyang deras pikiran Siti. Siti pun akhirnya memutuskan untuk melihat isi video tersebut.
Aku tak menginginkan apapun darimu lebih dari sekadar kau cukup tahu kalau
aku menyangimu, Sit. Aku hanya ingin mengungkapkan tanpa menginginkan
jawabannya. Karena aku tahu, aku sudah mendapatkan jawabannya. Kelak aku akan meninggalkanmu karena waktu. Tapi kau takkan
meninggalkan suatu tempat yang ku sebut hatiku. Tak seharusnya
aku memimpikanmu,
tapi memimpikan impianmu
adalah mimpiku. Jujur, aku
merasa selalu gagal menciptakan senyuman bagimu, tapi aku selalu berusaha
menghancurkan kesedihanmu meskipun
aku selalu gagal jua. Aku salah telah mengaku telah memahamimu, padahal
kenyataannya, aku gagal memahami diriku sendiri. Satu hal pasti yang selalu ku
tanamkan dalam benak ini adalah tentang keyakinan yang akan mengantarkanmu pada
sebuah pengertian, kalau aku menyayangimu, Sit. Aku tahu kalau aku hanyalah bagian dari cerita yang tak pernah kau
harapkan, tapi yang harus kau
ketahui adalah kaulah ceritaku, Sit. Cerita indah yang selalu menjadi cerita cintaku. Hal lain yang sulit tuk ku pahami adalah aku tersadar
bahwa aku
bukanlah bagian dari cerita
cintamu, tapi aku akan membuat cerita cinta terindah tentang dirimu.
Video dokumenter tersebut benar-benar menggetarkan hati Siti. Satu hal yang Siti sesali, yakni, ia sadar bahwa ia tak pernah menghargai Fiki selama ini. Namun, nasi telah menjadi bubur. Kini, Fiki telah hidup di masa depan bersama harapan yang ia impikan. Impian bersama kesuksesannya dan yang pasti bersama orang yang dicintainya, tentunya orang itu juga mencintainya. Orang itu tentunya bukanlah Siti.



